Agar tersirap darahnya ketika melihat sang pertapa duduk bersila. Badannya kurus kering. Maklumlah karena selama dua tahun ia tidak makan dan tidak minum. Ia seakan tidak bernapas. Tanda-tanda ia masih hidup hanya tampak pada detak urat nadi di lehernya. Rambut dan jenggotnya memanjang tak teratur. Matanya cekung dan terpejam rapat. Begitu juga telinganya seolah tersumbat. Langkah sang patih yang menginjak semak dan ranting tak terdengar olehnya.
“Assalamualaikum!” Ucap Ki Patih memberanikan diri dengan suara lirih. Tetapi kakek pertapa tersebut tidak menjawab. Ki Patih mengucapkan salam sekali lagi dan tidak dijawab pula. Oleh karena itu, Ki Patih mendekatinya dan mengucapkan salam yang ketiga kalinya. Pada salam ketiga inilah sang pertapa baru menyahut. Pelan-pelan ia membuka matanya yang cekung sambil membalas salam Ki Patih dengan suara berwibawa.
Sebelum Ki Patih sempat menerangkan maksud kedatangannya, sang pertapa cepat bertanya. “Ada keperluan apa Kisanak datang kemari, dan dari mana Kisanak berasal?” Dengan penuh rasa gembira dan hormat, Ki Patih duduk bersimpuh di depan sang pertapa yang senantiasa memutar-mutar tasbihnya.
Kiai Abdurrahman Bersedia Membantu Pangeran Ronggosukowati
Ki Patih menjelaskan maksud kedatangannya kepada pertapa di hutan Raba tersebut. “Hamba dari Keraton Mandiraras, Kiai. Hamba ditugasi oleh Pangeran Ronggosukowati untuk menghadap Kiai. Sebagaimana kiai ketahui, pada saat ini Pamekasan sedang mengalami kemarau panjang. Sudah dua tahun tidak turun hujan. Sungai-sungai tidak berair, sawah dan ladang tidak dapat ditanami. Demikian juga pohon-pohon tidak berdaun dan banyak hewan yang mati kelaparan. Dengan demikian, dikhawatirkan akan terjadi kelaparan.” jelas Ki Patih.
sungguh banyak para kiyai di madura…..
artikelnya bagus dan bermanfaat bagi saya lebih-lebih untuk orang lain
ator sakalangkon admin
makasih infonya…
ini sangat bermanfaat buat saya…