Oleh : Esa Arif As.
Dalam pembukaan kongres kebudayaan madura II, yang diselenggarakan oleh Said Abdullah Institut (SAI), berlangsung sangat megah, dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional dan ditanyangkan secara Live oleh salah satu station TV Nasional, Jumat sore (21/12).
Saat pembukaan kongres yang diselenggarakan digedung Zanzibar Sumenep itu, ada dua gelombang Aksi yang memprotes digelarnya kongres tersebut, tuntuannya adalah memepertanyakan legalitas Kongres, sebab menurut mereka, ada 39 rekomendasi pada kongres budaya Madura I, yang tidak dijalankan secara maksimal.
Bahkan mereka menilai bahwa kongres itu hanya dijadikan panggung politik oleh kelompok tertentu. Pertanyaannya, apakah benar, kongres itu mewakili masyarakat Madura?. Apakah benar Aksi unjuk rasa itu juga mewakili masyarakat madura?.
Membutuhkan perdebatan panjang dan melelahkan untuk menentukan siapa yang benar-benar tulus berbuat untuk masyarakat madura, sebab ketulusan itu tidak diukur dari seberapa besar sumbangsih yang telah diperbuatnya.
Teori dasarnya jelas, tidak ada tindakan yang bebas nilai, artinya, setiap langkah pasti mempunyai maksud dan tujuan, hanya tuhan dan merekalah yang tahu, biarlah itu menjadi rahasia mereka. Terlepas dari pro dan kontra itu mari kita berfikir secara jernih dan arif menyikapinya, sebab ada sisi lain yang perlu mendapatkan perhatian kita, yaitu eksistensi kebudayaan Madura.
“Kongres budaya Madura, dan berkumpulnya seluruh budayawan Madura semata karena kecintaan kita terhadap kebudayaan Madura, dan bangsa Indonesia,” itulah penggalan pernyataan D.Zawawi Imron,pada pembukaan kongres Budayawan Madura II.
Kutipan pernyataan diatas, sangatlah tulus, mengungkapkan kecintaan kepada kebudayaan Madura dan Bangsa Indonesia. Sebagai orang Madura tidak ada Larang bagi kita untuk curiga, tapi untuk menuduh kita harus melengkapinya dengan data dan fakta.