Oleh : Yusuf Yudo Sutrisno
Pada beberapa sisi budaya tradisional ternyata masih mempunyai daya pikat tersendiri bagi masyarakat modern saat ini. Pesona mereka mampu menembus batasan waktu. Sebuah budaya tradisional yang tetap dipertahankan keberadaannya tidak sekadar berfungsi sebagai simbol, layaknya romansa untuk mengingat keindahan masa lalu. Tetapi lebih dari itu dia merupakan representasi dari sebuah identitas. Seperti halnya kerapan sapi suatu kultur yang dianggap sebagai penjelmaan dari karakter masyarakat Madura yang tegas, sangat menjunjung harga diri dan jantan.
Kerapan sapi sendiri mulai hadir di tengah kehidupan masyarakat Madura, sejak awal abad XV tepatnya di masa pemerintahan Raja Jokotole, yaitu sekitar tahun 1415–1480. Pada masa tersebut masyarakat Madura dikenal gemar melakukan kegiatan olah raga. tradisional seperti Okol (gulat) dan Ojung (perang tanding) termasuk kerapan sapi. Dalam perjalanannya kerapan sapi kemudian berkembang menjadi olahraga yang paling digemari masyarakat Madura.
Dalam realita sosial, kerapan sapi dianggap mampu mengguratkan nilai-nilai tersendiri. Karena bagi masyarakat Madura kerapan sapi dianggap bisa mengangkat martabat sekaligus tingkatan kasta mereka. Sejatinya selain menjadi tradisi, karapan sapi sesungguhnya adalah sebuah perayaan untuk mengungkapkan kesuksesan panen tembakau. Saat ini olah raga yang dianggap sebagai simbol dari seorang laki-laki telah dikenal luas di luar masyarakat Madura, bahkan hingga ke negeri Manca. Bahkan kerapan sapi kini telah menjadi sebuah agenda wisata tahunan yang digelar tiap bulan Oktober minggu ke dua setiap tahunnya dengan memperebutkan piala presiden. Lokasi yang dipilih adalah Stadion R. Soenarto Hadiwidjojo, di Kabupaten Pamekasan.