Hélène Bouvier
Memperlakukan hewan ternak seperti manusia melalui percakapan ini dilengkapi oleh sebuah tari (tandhang) yang tidak berbeda dari tari yang dialamatkan kepada perempuan. Para laki-laki menari di hadapan sepasang sapi seperti mereka menari di depan sinden pada waktu acara tanda’. Penari meminta kepada saronen untuk bermain gendhing tertentu, dan barulah mereka melakukan tandang. Hal itu sama dengan yang dilakukan para penari laki-laki dengan gamelan pada acara tayub, dan repertoarnya pun sama pula. Selama tarian pendek itu, pemilik ternak yang bersangkutan atau salah saw anggota keluarganya, menyelipkan sedikit uang atau sebungkus rokok (ngèrern = mengirim) ke dalam saku penari, seperti yang terjadi pada acara tanda’.
Namun, beberapa unsur membedakan acara itu dan tanda’. Bahasa yang digunakan dalam lok-alok sangat berbeda. Dideklarnasikan dan tanpa nyanyian, dengan larik bebas dan bukan larik berima, bahasa itu sama sekali tidak terkait dengan gerak tari. Deklamasi dan tari bukan hanya tidak sinkron, tetapi dilakukan oleh dua orang yang berbeda, juru pidato dan penari.
Persamaan gaya koreografis agaknya mengacu pada landasan tunggal, yaitu gaya “jantan Madura” yang ditemukan secara hampir sama di dalam konteks yang berbeda-beda (dalam hal ini tanda’ dan lok-alok). Ciri gerak yang terdapat pada lok-alok. Apakah tarian tidak lebih daripada hiasan tidak berguna darilok-alok? Mungkin saja, apalagi sebutan itu hanya mengacu pada acara panggilan nama.
Musik saronen, yang merupakan unsur musikal dari acara itu, dimainkan atau disiarkan sebelum lomba, selama berlangsung arak-arakan pendahuluan, dan akhirnya selama acara pengumuman nama. Orkes itu, yang secara lebih khusus digunakan dalam kaitan dengan ternak (baik sapi maupun kuda), memainkan repertoar tersendiri sehingga mengambil alih peranan gamelan untuk tarian yang menyangkut manusia. Pada waktu itu dia meminjam repertoar ghendhing dan gamelan. Jadi kekhususan orkes menghilang di balik latar fungsi, seperti halnya ternak yang dianggap manusia.
Saronen, baik sebagai instrumen maupun sebagai orkes, terkait dengan binatang tetapi juga dengan bidang suci atau ritual. Saronen merupakan instrumen yang diwajibkan untuk tari topeng tertentu, yaitu di dalam lingkungan ritual dan di makam kramat. Demikian pula, kuda yang menari hanya digunakan di dalam konteks ritual (perkawinan, makam kramat). Hadir juga para dhukon, yang mengobati manusia serta binatang dan biasa ikut ambil bagian pada acara ritual tertentu.
Apakah semua hal ini menunjukkan adanya konotasi yang berkaitan dengan asal-muasal ritual pada acara pengumuman nama di atas? Memang, tidak ada acara doa atau permintaan berkah, sesajen, dupa dan air suci, tetapi mungkin saja deklamasi di atas pernah memiliki bentuk ritual pula, dan mungkin pula bahwa tarian itu pernah merupakan tan persembahan. Salah satu informan saya mengatakan bahwa pidato tertentu menyucikan ternak, yang kala itu dibandingkan dengan anak yang lahir secara ajaib (tanpa memecahkan plasentanya), sesuatu yang merupakan tanda kesucian.
Ternak itu dapat juga dibandingkan dengan ternak berkulit perak, bertulang besi, dengan mata bersinar, hal-hal yang merupakan tanda kebagusan, kekuatan, dan kesehatan.
Atau mungkin saja karena tema itu sudah lama. Apakah pemberian nama baru pada hewan ternak seusai lomba itu mengacu pada ritus peralihan manusia: beralih identitas untuk menghindani penyakit, misalnya? Hanya hipotesis yang dapat diusulkan, tetapi bagaimanapun, tidak pelak lagi acara pengumuman nama itu kini tampak di persimpangan bidang profan dan bidang suci.
Disalin dari buku Lèbur!, Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, Hélène Bouvier, Forum Jakarta-Paris, Ecole francaise d’Extreme-Orient, Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, Yayasan Obor Indonesia Jakarta, 2012, hal. 178-179.