Kalau Madura disebut pula pulau “karapan sapi”, maka salah-satu jenis sastra lisan yang bisa didapatkan pada pacuan sapi ialah lok-alok, yaitu bentuk puisi yang bideklamasikan. Karapan sapi yang menampilkan lok-alok bukan karapan sapi yang kita lihat pada kejuaraan karapan sapi di kota-kota kecamatan atau kabupaten di Madura. Karapan sapi yang menampilkan lok-alok ialah yang terdapat di desa-desa di mana sapinya dipacu sepasang-sepasang tanpa lawan berpacu. Sepasang sapi biasanya dipacu dua kali.
Di antara dua kali pacuan ini ada waktu bagi masing-masing si empunya sapi untuk memperkenalkan nama sapinya kepada para penonton, yaitu pada saat semua sapi sudah berada di finis setelah pacuan yang pertama. Ketika hendak kembali ke start untuk pacuan yang kedua kalinya, di tengah-tengah lapangan si empunya sapi atau orang yang mewakilinya mengucapkan pidato perkenalan itu, yang disebut lok-alok.
Orang yang mengucapkan lok-alok disebut tokang lok-alok. Seorang tokang lok-alok yang ahli biasanya sangat pandai sekali mengelola kata-kata, sehingga ucapan-ucapannya puitis sekali, meskipun kadang-kadang terjerat pada klise. Sebuah contoh lok-alok saya kutipkan:
Baja mangken dhung-ondhung are
Nemor kara, bentar tongga’ dhalem aeng
Kaula andhi’ bur-leburan dua’
Ne’-kene’ cabbi lete’
Moga daddi sampornana
Ka se nangga’ sareng se nenggu
Ka se etangga’ sareng se etenggu
Se pang lowar esebbut Se Gambar
Se pangdhalem ajujuluk Se Gambu
Dhu tang ana’ se sapasang
Ana’ kembar rembi’ ta bungkos
Etella’ temmo ceyaran
Ta’ solap ngabas are
Nedda’ teppong ta’ alampat
Adhu kacong buwana ate
Tadha’ bunga andhi’ ana’ kantha ba’na
Eabas dhari adha’ gaga’
Eabas dhari ereng mantereng
Akantha Arjuna kembar
Adhu kacong pola ba’na
Atapa pettobelas taon e gunung Maraong
Salbak macan lopot
Trerjemahan bebasnya:
Saat ini mentari condong (ke barat)
Kemarau kering, pecah tonggak dalam air
Saya punya dua kekasih
Kecil-kecil lombok rawit
Semoga jadi kesempurnaan
Bagi penanggap maupun penonton
Bagi yang ditanggap dan yang ditonton
Yang kiri disebut Si Gambar
Yang kanan bernama Si Gambu
Wahai anakku yang dua
Anak kembar lahir terbungkus
Dicubit sedikit bungkusnya pecah
Tidak silau menatap matahari
Tidak berjejak menginjak tepung
Wahai anak buah hatiku
Tiada bahagia punya anak seperti kalian
Dipandang dari depan gagah
Dilihat dari samping mentereng
Seperti Arjuna kembar
Wahai ananda, apakah kamu
Bertapa di Gunung Raung
Terluput diterkam harimau
Dalam lok-alok ini ternyata dominan sekali permainan irama dan rima, sehingga terlepas dari arogansi yang terkandung dalam maknanya, namun persyaratan sastrawi sudah bisa dipenuhi. Di samping itu vitalitas yang memancar pada bunyi masing-masing kata menunjukkan bahwa lok-alok ini benar-benar salah-satu sastra lisan yang khas Madura. Uniknya pula lok-alok itu tidak dilagukan sebagaimana kidungan, sebagaimana lazimnya sastra Madura yang puitis lainnya, tapi diucapkan dengan suara lantang seperti orang membaca sajak.
Istilah lok-alok berarti memperkenalkan, karena kata ka-alok dalam bahasa Madura berarti terkenal. Jadi lok-alok memperkenalkan dua ekor sapi yang diikutkan pesta kerapan.
Sesudah mengucapkan pidato lok-alok, Si tukang lok-alok lalu menari selama beberapa menit dengan diiringi gamelan Madura yang disebut “saronen”. Kalau tadinya penonton menyaksikan kecepatan sapi lari dan gaya dinamik joki (tokang kongkok) dalam menyemangati sapinya agar cepat larinya, dalam acara tarian itu ada suasana lembut dan menentramkan.
Lok-alok juga digunakan untuk memperkenalkan nama sapi sonok (ada menyebut sapi lotrengan atau pajangan). Sapi sonok ialah sejenis kontes sapi betina. Kalau sapi kerapan yang dipentingkan kecepatan larinya sedangkan sapi sonok keserasian pasangannya, keanggunan jalannya dan ketegaran melangkah memasuki pintu gerbang yang diberi cermin besar. (dzi)