Penyadaran pada masyarakat agar senantiasa menjaga kelestarian alam demi kehidupan semesta tampaknya akan terus dilakukan lewat berbagai gerakan kesenian agar kesenian lebih punya arti. Itulah kesan yang tersirat dalam repertoar “Lur Gulur E Tana Kapor”, duta Jawa Timur pada Temu Taman Budaya se Indonesia di Riau, 19 – 24 Juli 2010.
Temu Taman Budaya se Indonesia merupakan ajang silaturahmi antar-Taman Budaya menampilkan kreasi dari DKI Jakarta, Jawa Tengah (Surakarta), Kalimantan Timur (Balikpapan), Kalimantan Selatan (Banjarmasin), Nusa Tenggara Timur (Kupang), Maluku, Bali, Papua, Riau dan Jawa Timur. Masing-masing provinsi mengetengahkan kesenian daerahnya berupa tari, musik dan teater.
Pada tahun 2007 Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) ditunjuk sebagai tuan rumah. Kemudian status institusi kesenian ini berubah menjadi UPT Pendidikan dan Pengembangan Kesenian untuk kalangan guru dan pelajar. Karena perannya berubah, kemudian TBJT menunjuk komposer Subiantoro yang sering dijuluki Ki Toro untuk mengolah kreativitasnya.
Sebanyak 29 seniman dari Surabaya dan Sumenep dilibatkan dalam penggarapan seni pertunjukan bertajuk Lur Gulur E Tanah Kapur, perpaduan antara teater, tari dan musik diilhami ritual Topeng Gulur yang pernah berkembang di wilayah utara Sumenep. Namun, sejak seperempat abad silam kesenian itu telah sirna. Ritual tersebut biasanya digelar para petani menjelang musim tanam untuk mengharap kesuburan. Maklum, orang Madura biasanya bercocok tanam di alam lingkungan yang berkapur.
“Bentuk ritual ini sejak medio 70-an sudah sirna namun beberapa narasumbernya masih ada sehingga memudahkan untuk merekonstruksi ,” tutur Ki Toro, seniman yang bekerja di Dinas Kominfo Jawa Timur. Ruwatan tersebut oleh Toro dijadikan media untuk menerjemahkan fenomena masyarakat dalam menyikapi lingkungan.