Oleh: Hilmia
Meskipun memiliki banyak catatan sejarah, mulai dari peperangan antar suku hingga perjuangan melawan penjajahan, kenyataannya tak banyak situs-situs bersejarah yang terdapat di kecamatan Blega. Kondisinya pun sudah tak terawat dan tidak layak dijadikan sebagai situs sejarah.
Peran Pemerintah pun minim di bidang ini, sehingga menjadikan tempat-tempat bersejarah di Madura seakan tak terurus. Ketika kesadaran dan kecintaan akan daerah sendiri itu muncul, maka yang dapat dilakukan adalah mulai melestarikan situs yang ada, mengembangkan serta mempromosikannya ke luar daerah untuk membuktikan bahwa daerah mereka sendiripun turut menjadi saksi atas kejadian-kejadian historis di masa lalu.
Salah satu tempat bersejarah di kecamatan Blega ialah Makam Agung Pangeran Macan Putih yang berlokasi di Kampung Karang Kemasan. Makam tersebut merupakan makam seorang patih dari kerajaan Blega yakni Patih Macan.
Dahulu kala ketika masing-masing daerah di Madura dipimpin oleh seorang raja, Blega dipimpin oleh seorang pangeran namun dibawah kendali kerajaan Arosbaya yang dikuasai oleh Pangeran Pratano (Ki Lemah Duwur). Setelah wafatnya Ki Pratano (Ki Lemah Duwur), tahta kerajaan Arosbaya diwariskan kepada puteranya yaitu Pangeran Tengah pada tahun 1592 – 1620 dan yang menjadi raja di kerajaan Blega saat itu ialah Pangeran Blega pada tahun 1593 – 1624.
Di saat kedua kerajaan tersebut berada dalam punjak kejayaan, timbullah kesalah pahaman antara Pangeran Blega dan Pangeran Tengah. Masalahnya pun termasuk sepele yaitu Pangeran Blega telat membayar upeti terhadap Pangeran Tengah karena status kerajaan Blega yang masih di bawah kekuasaan kerajaan Arosbaya, jadi sudah seharusnya Pangeran Blega membayar uang upeti tiap tahun kepada Raja Arosbaya (Pangeran Tengah).
Pada tahun berikutnya pun Pangeran Blega terlambat membayar uang upeti. Pangeran Tengah kemudian mengutus anak buahnya untuk pergi ke kerajaan Blega guna menagih uang upeti tersebut. Utusan kerajaan Arosbaya pun pergi, ketika mereka hampir sampai di pintu gerbang untuk masuk ke kerajaan Blega (tempatnya sekarang dinamakan desa “Bates” (Batas dalam bahasa Indonesia), penjaga gerbang perbatasan rupanya sudah menyadari kedatangan mereka. penjaga pintu gerbang tersebut melihat iring-iringan para utusan yang menunggang kuda lengkap dengan senjatanya.
Seketika itu pula mereka menunggangi kudanya dengan sangat kencang menuju ke keraton Blega. Sesampainya di hadapan Pangeran Blega, ke dua prajurit penjaga pintu gerbang memberi tahu bahwa ada airing-iringan prajurit banyak sekali dan lengkap dengan senjatanya. Setelah mendengarkan apa yang disampaikan kedua prajuritnya, Pangeran Blega menyuruh patih kepercayaannya yaitu pangeran macan putih untuk pergi ke perbatasan dan menemui iring-iringan tersebut. Sesampainya disana, pangeran macan putih menemui iring-iringan prajurit itu.
Pangeran macan putih bertanya, “Ada apa gerangan yang membuat prajurit sebanyak ini datang ke kerajaan ini lengkap dengan senjata?”
Salah satu dari prajurit kerajaan Arosbaya menjawab, “Kami utusan dari kerajaan Arosbaya datang kesini guna menagih uang upeti kerajaan ini,”
“Apakah layak mendatangkan prajurit sebanyak ini hanya untuk menagih uang upeti? Menurut saya, seharusnya dua orang saja cukup,” sergah pangeran macan putih.
“Kami tidak mau tahu, ini perintah. Biarkan kami masuk!” kata prajurit Arosbaya seraya memaksa untuk menerobos pintu perbatasan.
“Oh, kalau begitu langkahi dulu mayat saya, baru kalian boleh masuk..!” ucap pangeran macan putih sambil menghadang prajurit-prajurit tersebut.
Kemudian terjadilah pertempuran antara 3 prajurit kerajaan Blega dan sekumpulan prajurit kerajaan Arosbaya. Tentu dengan jumlah yang tidak sepadan, salah satu kubu akan menang mudah. Dan seolah tahu apa yang akan terjadi, pangeran macan putih menjelma menjadi macan putih kembar dan bersama 2 prajurit lainnya ia mengamuk sehingga prajurit Arosbaya banyak yang terbunuh, dan prajurit lain yang selamat pun melarikan diri dan kembali ke Arosbaya.
Keadaanpun tenang, pangeran macan kembali ke sosok manusianya dan ia beserta 2 prajurit lain menghadap kepada Pangeran Blega guna melaporkan apa yang telah terjadi. Setelah dirasa aman, kedua prajurit penjaga gerbang pun kembali melakukan tugas mereka. Tak lama setelah itu sekitar jam 03.00 sore penjaga gerbang itu mendengar kabar dari luar bahwa ada sekumpulan prajurit yang jumlahnya berkali-kali lipat lebih banyak dari sebelumnya datang dari arah Arosbaya menuju ke perbatasan Blega.
Anehnya, prajurit-prajurit itu datang dengan amukan yang semakin menjadi-jadi. Tanpa pandang bulu, anak kecil, orang tua, dan siapapun yang berada di hadapan mereka akan menjadi sasaran amukan. Puluhan orang terbunuh. Prajurit penjaga pintu gerbang langsung menunggang kudanya kencang sekali menuju keraton Blega begitu mendengar kabar berita itu. Prajurit itu melapor pada Pangeran Blega tentang apa yang ia dengar dari rakyatnya. Pangeran Blega sangat terkejut mendengar hal itu, dengan mendadak dan tanpa persiapan apapun seketika itu juga Pangeran Blega memerintah pangeran macan putih untuk memimpin perang.
Dengan keadaan yang tidak siap itu, maka ketika prajurit-prajurit Arosbaya datang menyerang, pasukan kerajaan Blega menyambut mereka dengan jumlah yang seadanya dan dipimpin oleh pangeran macan putih. Kiyai panombak dan prajurit-prajurit Blega pun mengamuk sehingga terjadilah peperangan sengit. Dikisahkan pula ketika semua kuda terpakai olah masing-masing prajurit, seorang prajurit kerajaan Blega mengambil gidang (kuda-kudaan dari gedek) dan langsung mengamuk kea rah prajurit Arosbaya. Dan ajaibnya gidang tersebut berubah menjadi kuda perkasa.
Di dalam peperangan itu, banyak prajurit yang terbunuh, salah satunya ialah Pangeran Kambeng yang terbunuh dan mengambang di desa Sabbeggen (makamnya dinamakan makam Pangeran Kambeng). Namun dengan amukan pangeran macan putih dan semua kesatria kerajaan Blega juga kiyai panombak mampu membuat sebagian prajurit melarikan diri.
Makam pangeran macan putih terletak di kampung Karang Kemasan Blega. Tempat bersejarah ini banyak dikunjungi oleh para pelajar yang ingin meliput tentang kejadian historisnya atau sedang mempelajari sejarah dan kebudayaan Madura. Selain makam pangeran macan putih ada juga makam prajurit yang menghidupkan lampu sebagai tanda peringatan akan adanya perang. Makam tersebut dinamakan Makam Pademaran; (pademaran (padhemaran) bahasa Madura dari lampu minyak (penerangan, lampu). Ada pula makam seorang prajurit yang menabuh kenong untuk mengerahkan pasukan. Makam tersebut dinamakan Makam Pangeran Kenong dan terletak di kampung Mandala desa Nyormanis. Kemudian ada makam Pangeran Gidang yang diberi nama makam Pangeran Gidang Tengah dan terletak di kampung Tandereh desa Blega Oloh.
Dikisahkan bahwa yang memimpin perang prajurit Arosbaya tersebut ialah pangeran Siding Gili, kakak tertua dari Pangeran Blega dan beragama budha. Setelah kalah perang, pangeran Siding Gili melarikan diri ke pulau Mandangin yaitu pulau di sebelah selatan kabupaten Sampang. Sampai sekarang pulau tersebut diberi nama pulau Gili Mandangin. Dan dikisahkan pula bahwa Pangeran Blega tidak membayar uang upeti atau sampai terlambat membayarnya karena Pangeran Blega berpendapat bahwa beliau di utus untuk mengajak orang-orang Blega untuk memeluk agama islam. Dan rupanya itulah yang menjadi titik kesalah pahaman bagi pangeran Siding Gili hingga memicu peperangan yang dahsyat.(dari: ensiklopedimadura.wordpress.com)