Kesenian temb ang atau puisi tradisional “macapat” di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, kini terancam punah karena tidak ada generasi penerusnya.
“Hanya para orang tua saja yang saat ini bisa nembang. Kalau dari kalangan generasi mudah, sudah tidak ada lagi,” kata salah seorang pujangga kesenian tembang macapat di Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan, Pamekasan, Haji Ridawi, Sabtu.
Pria berumur 78 tahun ini merupakan satu dari tiga pujangga kesenian tembang macapat lainnya yang ada di desa itu. Dua pujangga lainnya ialah Suwamah dan Kamaruddin.
Ia menuturkan, tidak adanya generasi muda yang mau mempelajari kesenian tembang macapat ini karena jenis kesenian tradisional itu dinilai sulit. Ada beberapa macam dalam tembang macapat dengan jumlah metrum bervariatif, mulai dari lima hingga 10 metrum.
Seperti tembang Artateh, Sinum (Senum), Kinanthi, Pangkur, Pocung, Durma, Maskumambang, Asmaradana, Mijil, Jurudemung, Wirangrong, Balabak, Gambuh, Megatruh, Girisa, dan Dhandhanggula.
Menurut Haji Ridawi, masing-masing tembang ini memiliki metrum dan irama tembang yang berbeda. Seperti tembang Artate sebanyak 12 macam, Asmaradana (Kasmaran) tujuh macam, pocung empat, Kinanthi empat macam, dan Pangkur tujuh macam.