“Kalau pada tembang permulaan biasanya tembang Artateh atau tembang Kasmaran,” terang pria yang mengaku mulai belajar tembang macapat ini sejak kelas III Sekolah Rakyat (SR), sebulan lembaga pendidikan tingkat SD dulu.
Di Madura, termasuk di Pamekasan jenis tembang macapat yang biasa digunakan hanya sekitar tujuh tembang, yakni Artateh, Sinum, Pangkur, Pocung, Kinanthi, Kasmaran, dan tembang Maskumambang.
Ia menuturkan, jenis kesenian ini tergolong sulit dipelajari. Selain jenis tembang dan cengkok lagi yang sangat banyak, juga dibutuhkan ketelatenan untuk berlatih.
“Dulu saya dua bulan baru bisa menembang. Itu pun latihannya setiap hari,” kata pujangga tembang macapat di Desa Larangan Tokol, Kamarudin, yang juga teman Haji Ridawi ini.
Mungkin, sambung Kamarudin, karena alasan itulah sehingga generasi muda di desanya tidak mau lagi mempelajari kesenian tembang macapat. Di samping maraknya berbagai jenis kesenian modern lainnya yang lebih atraktif dan lebih menarik ditonton.
“Kalau kami-kami ini nanti tutup usia, jelas tidak akan ada lagi generasi penerusnya, karena anak-anak muda sekarang tidak ada lagi yang mau belajar,” katanya menjelaskan.