MAKIN hari makin banyak ilmuwan Indonesia yang kurang setuju pada pemetaan Clifford Gertz khususnya menyangkut wilayah budaya, abangan, santri, dan priayi. Mereka mempertanyakan “kewenangan” Gertz menafsirkan fenomena budaya, karena dia hanya beberapa tahun tinggal di Pare (Kediri). Para ilmuwan sebenarnya melihat temuan Gertz itu tak lebih sekadar justifikasi dari sistem kekuasaan saat itu, sehingga ketika kepentingan politik berubah, maka “wilayah” budaya itu pun akan berubah.
Tafsir baru. Demikian yang diinginkan sebagian ilmuwan dalam melihat fenomena sosial budaya. Tafsir itu akan lebih bermakna dan penuh nuansa, manakala dilakukan oleh orang yang terlibat langsung di dalamnya. Bukan seperti Gertz yang datang dan tinggal beberapa lama lalu membuat peta.
Itulah yang coba dilakukan. Meski baru mulai akrab dengan studi Madura ketika Huub de Jonge menjadi dosen tamu sosiologi di Universitas Jember awal 1980-an, sebagai oreng Madure Latief merasa apa yang dipersepsikan orang luar Madura selama ini terlalu simpel. Madura hanya dilihat sebagai entitas etnis tunggal dengan stereotip yang cenderung naif.
“Stereotip negatif ini yang membuat kalangan menengah Madura akan sulit mengaku Madura manakala mereka berada di luar Madura. Sebab, masyarakat luar Madura telah punya persepsi yang kurang bagus akan Madura. Ini yang harus kita berantas,” ujarnya.
Madura di benak orang luar tak lebih dari celurit, karapan sapi, atau kekerasan. Bahkan, di bidang ekonomi orang Madura terlalu akrab dengan sate, becak, atau besi tua. Di sisi lain, Madura dikenal sebagai orang yang taat beragama dan patuh pada kiai. Di luar daerahnya, orang Madura dikenal sebagai pekerja keras, khususnya di sektor yang mengandalkan otot ketimbang otak.