LATIEF memilik carok untuk disertasi, sebab hampir tidak ada ilmuwan yang mau meneliti secara lebih komprehensif. Banyak tulisan yang tersebar di berbagai buku dan jurnal ilmiah, hanya membahas carok dari sisi yang kontroversial, tanpa menyentuh substansinya.
Menurut Latief, carok lebih didasarkan pada rasa malo (malu) yang berhubungan dengan harga diri seseorang. Malo berbeda dengan todus, yang dalam bahasa Indonesia juga berarti malu. Todus lebih terkait dengan pelanggaran norma. Akan tetapi malo secara otomatis menghilangkan eksistensi sosial budaya Oreng Madure.
“Bagi warga Madura lebih baik mati dibanding ada tetapi tiada. Kalau sudah malo berlaku ungkapan tembang pote mata, angor mate katelak tolang (daripada kelihatan putih mata, lebih baik mati kelihatan tulang-Red),” ujarnya.
***
SELEPAS SMA di Bangkalan, tahun 1970 Latief kuliah di jurusan administrasi negara FISIP Universitas Jember. Sejak jadi asisten dosen di almamaternya tahun 1974, Latief memegang mata kuliah yang sulit, Filsafat Pancasila.
Sampai awal 1980-an, ketika ahli Madura asal Belanda Huub de Jonge hadir di Jember, Latief masih mengajar mata kuliah yang jauh dari masalah etnisitas. Ia tertarik melakukan studi Madura karena Jonge tahu lebih banyak tentang Madura dibanding dirinya.
“Saya merasa tertantang. Masak orang Belanda yang baru beberapa tahun tinggal di Madura, lebih tahu dari saya,” ujarnya.
Meski harus mulai lagi dari awal, Latief merasa menikmati pilihan barunya. Dia terus menempel Jonge ke mana pun pergi, terutama dalam penelitian di berbagai daerah di Madura.
“Saya banyak belajar dari Jonge. Bahkan, ketika saya di Belanda, saya ditunjuki peta Desa Parsanga (Kabupaten Sumenep), tempat saya lahir. Saya kaget karena ternyata desa kelahiran saya itu dulunya sangat subur, kok sekarang jadi gersang,” ujar pria kelahiran 22 Juni 1950 ini.