Makin kerap mengikuti Jonge, makin banyak ragam budaya Madura yang ditemui Latief. Tidak heran kalau dia bisa bicara banyak nuansa budaya Madura kepulauan dan daratan. Budaya Madura kepulauan, seperti di Pulau Kangean, Sapudi, atau Sapeken, sudah dipengaruhi Bugis atau Makassar. “Kenyataan ini makin melengkapi kesalahan persepsi masyarakat luar tentang Madura,” ujarnya.
***
MERAIH gelar S-2 dari Universitas Indonesia, Latief sangat kagum kepada Parsudi Suparlan, ahli sosiologi perkotaan UI. Katanya, “Saya ingat bagaimana beliau berbulan-bulan hidup menggelandang saat penelitian soal gelandangan. Itu sungguh luar biasa”.
Sebagai Oreng Madure, penampilan Latief tidak banyak berubah. Bicaranya lantang bahkan cenderung meledak-ledak meskipun tentu disertai alasan yang cukup. Bagi orang yang belum akrab, gaya bicara Latief bisa ditafsirkan simbol kesombongan.
“Dari dulu, saya ya begini ini. Terserah orang mau menganggap apa,” ujarnya. (Mohammad Bakir)
Biodata lengkap:
A. Latief Wiyata dilahirkan di Desa Parsanga, Sumenep, Madura. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) di Sumenep, (1963); SMP di Pamekasan, (1966); SMA di Bangkalan, (1969). Kemudian melanjutkan ke FISIP (jurusan Administrasi Negara) Universitas Jember, Jember (1975); Pascasarjana (Sosiologi) di FISIP UI, Jakarta (1984); dan Doktoral (Antropologi) di UGM, Yogyakarta (2001). Sejak 1974 sampai sekarang sebagai dosen di FISIP Universitas Jember. Mengelola Pusat Kajian Madura di Universitas Jember bersama dengan Dr. Huub de Jonge kemudian dilajutkan bersama dengan Dr. Robert Wessing (1985-1993). Selain itu pernah aktif di Universitas Trunojoyo (Ketua LPPM) Bangkalan, Madura (2002-2004); Peneliti Tamu di LIPI, Jakarta (2004-2006); Peneliti di CERIC FISIP UI, Jakarta (2002-sekarang); Universitas Mercu Buana, Jakarta (2007-2008); Staf Ahli DPR-RI, Jakarta (2005-2009); DP2M Dikti Kemdiknas, Jakarta (2005-sekarang); dan sebagai Team Leader di Proyek SCBD Kabupaten Sampang, Madura (2009-2011).
dimuat di: KOMPAS Kamis, 9 November 2000