(Refleksi Sa’at Ini)
Dari berbagai bentuk warisan kebudayaan para leluhur kita (nenek moyang masyarakat Madura) ternyata banyak menciptakan nilai-nilai kearifan local ke-Madura-an yang lambat laun melahirkan sebuah peradaban. Meskipun saat ini, banyak refleksi, analisa, dan kritik dari pemerhati kebuadayaan Madura yang merasakan semakin lama semakin hilangnya nilai-nilai peradaban Madura. Masyarakat Madura semakin tidak bangga dengan nilai-nilai kebudayaannya, mengapa ini terjadi?
Sekarang, mari kita lihat Madura padaa saat ini. Madura yang sudah memiliki Jembatan Suramadu yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono diharapkan mampu memeratakan pembangunan antara Surabaya dan Madura, yang selama ini terjadi kesenjangan yang sangat jauh antara industrialisasi di Surabaya dan di Madura.
Industrialisasi merupakan salah satu dampak nyata dari direalisasikannya Jembatan Suramadu, yang diharapkan mampu menyejahterakan masyarakat Madura melalui pembangunan-pembangunan yang diproyeksikannya. Sehingga seiring perkembangan jembatan Suramadu diharapkan memiliki ciri “Indonesianis, Maduranis, dan Islamis”.
Kebanggaan dan kesenangan akibat terealisasinya jembatan Suramadu tidak dibarengi oleh kesadaran pemerintah pusat, local maupun masyarakat Madura (tokoh masyarakat) bahwa ada sosok lain dari dibangunnya jembatan Suramadu yang mengalami kesengsaraan. Mereka inilah masyarakat yang berada di kaki jembatan Suramadu, tepatnya masyarakat Labang Dusun Sekar Bunguh Desa Sukolilo Barat. Masyarakat yang telah rela tanahnya dibangun dan telinganya bising mendengarkan kendaraan-kendaraan yang melewati Jembatan Suramadu.
baca juga: Dimensi Kultural Kearifan Lokal Madura
Berawal dari itulah Prodi Sosiologi FISIB Unijoyo berupaya untuk melakukan pemberdayaan bagi masyarakat Kaki Jembatan Suramadu melalui “Sekolah Rakyatnya”, yang diadakan tanggal 31 Oktober sampai 01 November 2009. Tanggal yang memang sengaja dipilih untuk mengingatkan kita bahwa ada persoalan dan penindasan akan hak-hak asasi yang muncul seiring melecusnya G/30 S PKI, yang kemudian melahirkan hari Kesaktian Pancasila. Sebuah upaya keadilan, kemakmuran, kamanusiaan, dan kebersatuan, serta kemusyawaratan yang merupakan ciri utama bangsa Indonesia dengan tidak melepaskan diri dengan makna Ketuhanan. Suatu tujuan dan makna filosofis yang sangat mulya.
Masyarakat Sekar Bunguh beranggapan bahwa munculnya Jembatan Suramadu yang melalui proses panjang dan berliku telah melahirkan upaya musyawarah antara pemerintah, pengelola, dan masyarakat. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika “ketidakjujuran” menimpa mereka, dalam artian bahwa ada sebuah janji tidak tertulis, menurut Pak Solihin; ketika ia bersedia menjual tanahnya untuk dibangun Jembatan Suramadu maka sebagai gantinya adalah pekerjaan bagi anaknya di area Jembatan Suramadu. Sesuatu yang tidak terealisasi sampai saat ini.
Fenomena ketidakjujuran inilah yang pada akhirnya menjadikan Suramadu tidak memiliki landasan-landasan filosofis kepancasilaan, yakni tidak berkeadilan, tidak memakmurkan, dan tidak berlandaskan kemanusiaan, serta nilai-nilai kearifan peradaban Madura. Sebelum Suramadu terealisasi masyarakat Sekar Bunguh yang mayoritas nelayan kalau tidak mahu disebut semuanya nelayan, berpenghasilan sekitar 200.000 ketika musim ikan dan 25.000 ketika tidak musim. Namun, saat ini nelayan Sekar Bunguh hanya mendapatkan 10.000 dari tangkapan ikannya. Hal ini disebabkan dari sempitnya lahan tangkapan mereka karena diberlakukannya aturan tidak boleh menangkap di sekitar Jembatan Suramadu, dangkalnya air laut, dan terjadinya pengikisan sisi pantai secara cepat. Dan yang pasti adalah banyaknya ikan dan terumbu karang yang rusak akibat bom pra pembangunan Jembatan Suramadu.
Minimnya penghasilan para nelayan inilah yang pada akhirnya akan menimbulkan dampak social ekonomi bagi industrialisasi di Madura, yang sejak awal sudah ditakuti oleh para Ulama, pemerintah, dan masyarakat. Yakni kesiapan dan perbaikan taraf perekonomian masyarakat Madura dengan adanya Jembatan Suramadu bukan malah melahirkan kemiskinan-kemiskinan baru dan penjajahan-penjajahan baru bagi masyarakat Madura.