[junkie-alert style=”green”] Khoirul Umam *)
Kamis, 14 Juli 2016 lalu, berita rencana pembongkaran 50 makam di Dasuk Timur oleh investor asing sungguh sangat mengejutkan. Pada tanggal yang sama juga sempat terjadi aksi turun jalan oleh sekelompok pemuda dari berbagai perguruan tinggi yang mengatasnamakan dirinya PPS (Pemuda Peduli Sumenep) dengan salah satu tuntunyanya suapaya pemerintah daerah menggagalkan rencana penguasaan tanah dan penggusuran makam tersebut. Menurut berbagai sumber, investor pembeli lahan memberi warga tenggat waktu sampai tanggal 18 di bulan yang sama untuk memindahkannya sendiri. Jika tetap dibiarkan, mereka akan memindahkannya dengan alat berat buldoser yang sudah siap sedia di tempat. [/junkie-alert]
Peristiwa ini tidak terjadi begitu saja. Sebelumnya, ia didahului oleh peristiwa penjualan tanah besar-besaran kepada investor dengan jasa pihak ketiga. Menurut data yang dihasilkan Barisan “ajãgã tana ajãgã na’poto”, menjaga tanah menjaga anak cucu (keturunan) (Batan), sudah sekitar 500 hektar tanah beralih kepemilikan yang meliputi Ambunten, Dasuk, Dapenda, Lombang, Lapa Daya, Andulang, Talango dan Kombang. Pembelian tanah ini rencananya masih akan tetap berlanjut hingga mencapai 1000 hektar. Demi memuluskan rencananya, mereka mencoba memberi penawaran terhadap tanah yang diincar di atas harga rata-rata.
Bagi sebagian masyarakat Madura yang mayoritas petani, kesempatan ini sangat menggembirakan. Mengingat, sudah begitu lama musim tidak menentu dan kerugian yang diderita secara beruntun membuat mereka menumpuk hutang. Bagi sebagian orang harga yang melambung akan meloloskan cita-cita paling mulianya menunaikan kewajiban agama kelima: menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Peristiwa tersebut bukan hanya sekadar peritiwa ekonomi dan ekonomi-relegius yang saat ini sedang menimpa masyarakat Madura. Hal tersebut merupakan dinamika budaya yang saat ini bergerak di dalam tubuh masyarakat. Jika dibiarkan, tidak menutup kemungkinan masyarakat tidak hanya akan kehilangan tanahnya, namun, juga akan kehilangan ‘diri’-nya sebagai sebuah etnik. Pada akhirnya Madura akan tinggal cerita, manusia yang dilahirkan dan hidup di dalamnya tidak lebih hanya sekadar robot yang bergerak untuk mencari uang dan makan.