Manusia Madura: Pandangan Hidup, Perilaku, dan Etos Kerja

Pandangan Hidup

Pandangan hidup orang Madura tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai agama Islam yang mereka anut. Suatu fakta sosiologis tak terbantahkan bahwa hampir seluruh orang Madura adalah penganut agama Islam. Ketaatan mereka pada agama Islam sudah merupakan penjatidirian penting bagi orang Madura. Ini terindikasikan pada pakaian mereka yaitu sampèr (kain panjang), kebaya, dan burgo’ (kerudung) bagi kaum perempuan, sarong (sarung) dan songko’ (kopiah atau peci) bagi kaum laki-laki sudah menjadi lambang keislaman khususnya di wilayah pedesaan (Rifai, 2007: 446). Oleh karena itru, identitas keislaman merupakan suatu hal yang amat penting bagi orang Madura.

Amien Rais dalam seminar “Islam dan Budaya Madura” yang diselenggarakan dalam rangka Festifal Istiqlal II di kampus Universitas Muhammadiyah Malang (1996) mengungkapkan kegagumannya pada ketaatan yang kuat orang Madura pada agama Islam. “Sejak masa kecil sudah diceritakan orang padanya bahwa tidak orang Madura yang baik saja yang bakal sangat marah jika dikatakan tidak muslim, sebab yang jahat pun akan bersikap serupa”. Ini artinya, orang Madura yang jahat pun masih membuka ruang untuk disinari oleh nur (cahaya) kebenaran Islam sehingga pada saatnya nanti tidak mustahil mereka akan insyaf akan perilakunya yang selama ini tidak dibenarkan oleh ajaran agamanya.

Sesuai dengan ajaran Islam yang dianutnya, pandangan hidup orang Madura menuntunnya untuk menjalani kehidupan demi pencapaian kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk itulah kegiatan aèkhtèyar (berikhtiar, berupaya) menjadi sangat penting bagi orang Madura, sebab pendekatan ini akan memperbesar kemungkinan pencapaian semua keinginan dan tujuan (Munir 1985: 228).

Orang Madura sangat sadar bahwa ‘hidup’ itu tidak hanya berlangsung di dunia sekarang ini tetapi juga diteruskan kelak di akhirat. Itu sebabnya orang Madura sangat yakin bahwa amal mereka di dunia ini akan dapat dijadikan bekal buat kehidupannya di akhirat kelak. Ibadah agama dilaksanakan dengan penuh ketekunan dan ketaatan karena dilandasi kesadaran dan keyakinan bahwa ngajhi bandhana akhèrat (mengaji bekal atau modal di akhirat).

Selain itu, hidup tidak akan ada artinya jika orang Madura dipermalukan atau harus menanggung malu (malo) terutama yang menyangkut harga diri (Wiyata, 2002, 2006). Ini sejalan dengan pepatah ango’an apotèya tolang ètèmbang potèya mata (lebih baik mati berkalang tanah daripada harus hidup menanggung malu). Bila demikian, secara tersirat orang Madura pada dasarnya tidak akan mempermalukan orang lain selama mereka juga diperlakukan dengan baik (ajjha’ nobi’an orèng mon aba’na ta’ enda’ ètobi’).

Pandangan hidup orang Madura yang lain tercermin pula dalam ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato. Tapi apakah semua orang Madura paham akan makna yang terkandung di dalamnya? Saya yakin, jawabannya tidak. Menurut pengamatan saya selama ini, paling-paling yang mereka pahami adalah kepatuhan orang Madura secara hierarhikal pada figur-figur utama. Orang Madura pertama-tama harus patuh dan taat pada kedua orangtua(nya), kemudian pada ghuru (ulama/kiai), dan terakhir pada rato (pemimpin formal atau biasa disebut birokrasi). Artinya, dalam kehidupan sosial budaya orang Madura terdapat standard referensi kepatuhan terhadap figur-figur utama secara hierarhikal. Sebagai aturan normatif yang mengikat setiap orang Madura maka pelanggaran atau paling tidak – melalaikan aturan itu – akan mendapatkan sanksi sosial sekaligus kultural. Tentu saja, pemaknaan sebatas itu tidak sepenuhnya salah. Oleh karenanya, perlu adanya perenungan kembali yang lebih mendalam.

Jika makna ungkapan tadi hanya sebatas kepatuhan orang Madura pada figur-figur tertentu secara hierarhikal maka implikasi praksisnya menuntut orang Madura harus patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh! Tidak ada pilihan lain. Tidak ada kesempatan dan ruang sekecil apa pun agar orang Madura dipatuhi. Jika begitu, artinya sepanjang hidupnya orang Madura harus patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh! Patuh pada siapa? Kepatuhan pada kedua orangtua kandung memang sudah jelas dan tegas. Tapi untuk patuh pada figur yang kedua apalagi yang ketiga harus ada jawaban yang juga jelas dan tegas. Siapa mereka? Apakah figur ghuru itu harus orang Madura atau dari etnis lain? Begitu pun tentang kepatuhan pada figur rato. Siapakah dia? Orang Madurakah? Atau orang dari etnis lain? Bagaimana implementasi sosio-kulturalnya bagi kehidupan orang Madura? Itulah pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijawab secara jelas dan tegas.

Kepatuhan pada kedua orangtua sudah sangat jelas dan tegas bahkan tidak dapat ditawar-tawar, apalagi digugat-gugat. Durhakalah jika seorang anak sama sekali tidak patuh pada kedua orangtua kandungnya. Bahkan saya yakin, di masyarakat dan kebudayaan manapun, kepatuhan seorang anak pada kedua orangtua kandungnya adalah mutlak. Mungkin yang berbeda hanya dalam hal cara bagaimana dan dalam bentuk apa seorang anak mengimplementasikan kepatuhannya selama menjalani jalur kehidupannya di dunia yang fana ini. Kemutlakan ini ditopang sepenuhnya oleh aspek genealogis. Artinya, jika pada saat ini seorang anak patuh pada kedua orangtua kandungnya maka ada saatnya pula anak itu harus menjadi figur yang harus dipatuhi anak kandungnya ketika yang bersangkutan telah menikah dan mempunyai anak pula kelak. Jadi ada semacam siklus yang berkesinambungan.

Bagaimana dengan kepatuhan orang Madura pada figur ghuru? Oleh karena peran dan fungsi ghuru lebih pada tataran moralitas dan masalah-malalah ukhrowi (morality and sacred world) maka kepatuhan orang Madura sebagai penganut agama Islam yang taat tentu saja tidak bisa dibantah lagi. Namun, apakah ada siklus yang berlaku sama seperti kepatuhan pada figur kedua orangtua? Tentu saja tidak. Sebab, tidak semua orang Madura memiliki kesempatan yang sama untuk dapat menjadi figur ghuru.

Meskipun banyak anggapan bahwa figur ghuru dapat diraih oleh seseorang karena faktor genealogis (keturunan). Namun demikian, pada kenyatannya tidak semua keturanan (anak kandung) dari figur ghuru akhirnya mengikuti jejak orangtua kandungnya. Artinya, pada tataran ini makna kultural dari ungkapan bhuppa’ bhabhu’ ghuru rato masih belum menjamin memberi ruang dan kesempatan lebih luas pada orang Madura untuk mengubah statusnya sebagai orang yang harus selalu patuh, patuh, dan sekali patuh!

Bagaimana halnya dengan figur rato? Siapa pun dapat menjadi figur ini entah itu berasal dari etnis Madura sendiri maupun dari etnis lain. Sebab figur rato adalah suatu achievement status yang persyaratannya bukan faktor genealogis melainkan semata-mata karena faktor achievement (prestasi). Bila demikian, siapa pun yang dapat dan mampu meraih prestasi itu berhak pula menduduki posisi sebagai figur rato. Namun demikian, dalam realitas praksisnya tidak semua orang Madura dapat mencapai presatasi ini. Oleh karena itu, figur rato pun kemudian menjadi barang langka. Dalam konteks ini dan dalam bahasa yang lebih lugas, mayoritas orang Madura sepanjang hidupnya sepertinya masih tetap harus berkutat pada posisi “subordinasi”. Harus patuh, patuh, dan sekali lagi, patuh!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.