Perilaku
Touwen-Bouwsma (1989:159) dengan mengutip sebuah artikel di Java Post terbitan Belanda tahun 1922 mengatakan bahwa: “Orang Madura dan pisaunya adalah satu; tangannya selalu siap untuk merampas dan memotong. Dia sudah terlatih untuk menggunakan segala macam senjata, tetapi paling ahli dalam menggunakan arit. Tanpa arit ini dia tidak lengkap, hanya setengah laki-laki, orang liar yang sudah dijinakkan.” Senada dengan hal ini De Jonge (1995:13) menyatakan pula bahwa “jika orang Madura dipermalukan, dia akan menghunus pisaunya dan seketika itu pula akan menuntut balas atau menunggu kesempatan lain untuk melakukannya.”
Baik Touwen-Bouwsma maupun De Jonge nampaknya sependapat bahwa penggunaan kekerasan fisik merupakan hal yang biasa dalam masyarakat Madura, terutama jika menyangkut kehormatan diri yang dilecehkan. Oleh karenanya, orang luar sering menganggap ciri khas Madura adalah carok dan menyebut orang Madura sebagai “orang carok” (De Jonge 1993:1; Smith 1997:58). Berkaitan dengan hal itu, muncul pernyataan-pernyataan stereotip mengenai orang Madura. Stereotip ini, meskipun tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya, antara lain menyebutkan bahwa orang Madura mudah tersinggung, menaruh curiga kepada orang lain, bertemperamen tinggi atau mudah marah, pendendam dan suka melakukan tindakan kekerasan (De Jonge 1995:13; Touwen-Bouwsma 1989:162). Pertanyaannya kemudian, benarkah orang Madura keras?
Pertanyaan ini sering kali muncul dalam pikiran banyak orang, baik itu orang Madura sendiri maupun orang luar. Bagi kebanyakan orang luar yang pengetahuannya tentang orang Madura hanya diperoleh melalui bacaan-bacaan dari buku-buku atau dari “cerita-cerita” orang lain, predikat orang Madura keras diyakini begitu saja. Tidak pernah terbesit dalam pikiran mereka tentang hal sebaliknya. Bahkan karena keyakinannya itu, mereka kemudian merasa tidak berani mengunjungi pulau Madura. Lebih tragis lagi, mereka tidak mau berinteraksi dengan orang Madura. Kalaupun ada kemauan untuk itu, mereka paling tidak harus berpikir seribu kali sebelumnya.
Namun, bagi orang luar yang pernah berinteraksi serta mengalami sendiri hidup dan tinggal bersama orang Madura, baik di pulau Madura maupun di luar pulau, ternyata memiliki persepsi berbeda. Pada umumnya mereka mengakui bahwa pada dasarnya orang Madura memang “keras”, namun sebagaimana orang-orang dari etnis lain, orang Madura juga memiliki perangai, sikap dan perilaku sopan, santun, menghargai dan menghormati orang.
Bahkan kualitas rasa persaudaraannya sangat tinggi. Banyak bukti tentang ini saya peroleh dari pengakuan beberapa orang yang sempat berbincang-bincang secara informal, terutama di pertemuan-pertemuan ilmiah. Salah satu di antaranya, ketika saya sebagai pembicara di Forum Rektor Indonesia ke VI, 2004., di Bengkulu. Pada saat itu saya memaparkan beberapa karakteristik sosial-budaya Madura dalam kaitannya dengan upaya rekonsiliasi konflik di Kalimantan Barat dan Tengah. Salah seorang peserta, yang kebutulan rektor dari perguruan tinggi swasta di Kalimantan Barat, dan berlatar belakang etnis Melayu, memaparkan pengalamannya bergaul dengan orang Madura selama lebih dari 20 tahun. Istilah andhap asor, sudah merupakan salah satu butir penting dalam baburughan beccè’ (tatakrama yang baik) dalam masyarakat Madura.
Bagi orang Madura sendiri, pertanyaan tadi lebih merupakan suatu “refleksi diri” (self reflection) daripada sebuah “pengakuan”. Menurut pengamatan saya, “pengakuan” bahwa orang Madura keras muncul secara spontan ketika mereka dihadapkan pada situasi dan kodisi yang terjadi di luar dirinya (external conditions) yang sifatnya mengarah pada pelecehan terhadap rasa kemaduraan mereka. Seperti misalnya, merendahkan martabat dan harga diri orang Madura melalui jokes (lelucon yang sering kali sangat konoyol).
Barangkali penting membuat penegasan tentang konsep “keras” dalam hubungannya dengan sikap dan perilaku orang Madura.
Dari perspektif antropologi, setiap sikap, tindakan dan bahkan pikiran seseorang yang diimplementasikan atau diaktualisasikan dalam realitas empirik merupakan refleksi simbolik dari nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. Nilai-nilai budaya ini sejatinya harus dipahami maknanya secara kontekstual. Sebab, sebagaimana dinyatakan oleh Geertz (1973), makna nilai-nilai kebudayaan itu sendiri tiada lain merupakan konsep semiotik sekaligus merupakan jejaring makna dimana manusia yang membuat jejaring tersebut memiliki ketergantungan sangat kuat. Berangkat dari pernyataan ini, sikap dan perilaku orang Madura yang dimaknai sebagai ”keras” menunjukkan relasi dengan nilai-nilai budaya Madura. Namun, apakah memang benar demikian?
Barangkali yang selalu muncul dari pikiran, sikap, dan tindakan orang Madura adalah ”ketegasan” bukan ”kekerasan”. Dua kata benda ini – yang berasal dari kata sifat ”tegas” dan ”keras” yang dikaitkan dengan sikap dan perilaku ini harus dibedakan secara konseptual maupun praksis. ”Keras” menujukkan sifat perilaku berkebalikan dengan perilaku ”lembut” sehingga segala sesuatu harus dihadapi dengan penuh emosi, nengabaikan akal budi dan etika sopan santun (asal kemauannya dituruti).
Dalam konteks yang sama ”tegas” mengandung makna perilaku memegang prinsip yang diyakini sehingga tidak dengan mudah terombang-ambing oleh kondisi dan situasi sekelilingnya. Sebagai contoh, pemilihan warna hampir selalu warna-warna yang bernuansa ”tegas” misalnya mèra (merah), celleng (hitam), bhiru (hijau), atau konèng (kuning), dan lainnya. Hampir tidak pernah orang Madura menyukai warna-warna jenis ”lembut” atau kurang tegas. Kalaupun harus memilih jenis warna yang kurang tegas, biasanya hanya sebagai aksesori tambahan. Untuk penyebutan warna-warna demikian, mereka cukup menambahkan kata ”ngoda” (mèra ngoda, konèng ngoda, biru ngoda, dan bahkan untuk warna ”celleng ngoda” tidak pernah digunakan (atau mungkin disebut dhabuk).