Letak masalahnya dimana ?
Masalahnya adalah sikap dari sebagian kecil masyarakat Madura terhadap tanggapan Ejaan Umum Bahasa Madura yang sampai saat ini belum tuntas. Kekuatan “protes” dari elemen Madura yang kurang berdasar pada aspek linguistiknya, terutama sistem fonologisnya. Walaupun hanya sebagian kecil tidak setuju, toh Ejaan Bahasa Madura tetap terbengkalai, mati tidak mau, berkembang pun enggan. Semua itu penyebabnya adalah ketidakterimaannya antar elemen.
Kalau dibandingkan dengan bahasa Indonesia ?
Meruntut perjalanan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan sudah 34 tahun belum menemukan titik temu, bahkan terus direvisi, ditambah perdebatan yang tak berujung pangkal. Namun EYD tetap berjalan dan semua antar elemen bersedia mengakuinya. Ejaan Bahasa Madura baru “seumur jagung”, tetapi sudah menemukan tekanan bahkan penyiksaan. Agar “penyiksaan” tidak berkepanjangan maka diperlukan kesadaran dari berbagai pihak. Tanpa adanya kesadaran yang besar, Ejaan Bahasa Madura tidak akan menemukan titik temu. Untuk itu diperlukan pemasyarakatan melalui lomba penulisan berbahasa Madura dengan berpedoman pada Ejaan Bahasa Madura tahun 2003.
Bagaimana dengan pembakuan penulisan ?
Kaitannya dengan penulisan bahasa Madura salah satunya disebabkan oleh tidak adanya pedoman atau pembakuan bahasa Madura, seperti ejaan, tata bahasa, dana kamus bahasa Madura. Ketiga kunci itu akan berhasil jika ada penyederhanaan penulisan kata, seperti t dan d (titik bawah), agar tidak sulit dipahami, tetapi dari segi linguistik tetap diperhatikan.
Kondisi di atas apa mempunyai pengaruh atau akibat terhadap pengembangan bahasa Madura ?Dan siapa pula yang memikul tanggung jawab tersebut ?