Marlena, Perjalanan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk buku.
Episode Dua Puluh Enam (Tamat)
Justru yang terjadi sebaliknya. Setelah meluncurkan surat pertamanya itu, Taufik semakin diburu rasa gelisah dalam suatu harapan panjang. Kegelisahan sebuah hati yang tertancap di atas ranting-ranting kenangan masa silam. Dari kegelisahan itu, pernah suatu ketika, saat Taufik duduk di kursi tugasnya, kedatangan salah seorang warganya yang bermaksud minta rekomendasi lurah. Tapi Lurah Taufik tidak menanggapi sebagaimana lazimnya. Bahkan mata Taufik menyala-nyala memandang wajah di depan meja kerjanya itu dengan perasaan aneh. Dan tentu hal itu menimbulkan tanda-tanda kurang enak bagi warganya yang mengharap tanda tangannya itu. Hingga tanpa diduga, dalam perasaan dan pikiran kosong seakan Taufik menyebut-nyebut nama Marlena di hadapan wanita yang ternyata telah bersuami itu.
“Kalau memang Bapak menolak, saya akan segera pergi dari ruangan ini,” ujar wanita itu dengan rasa jengkel.
Saat itu pula Taufik terhenyak. Ternyata pikirannya terarah pada seraut wajah, yang mirip dengan wajah di hadapannya. Dengan demikian lurah Taufik segera mencabut kembali terawangan pikirannya itu dan minta maaf atas kekhilafan yang baru saja dialami.
Ternyata wanita yang masih tertegun itu, akhirnya memaklumi akan situasi hati lurah yang masih bujangan itu.
“Tolong, peristiwa ini dirahasiakan bu,” harap Taufik.
Pemohon itu menganggukkan kepala alias memakluminya.
Dalam suasana selanjutnya, hati Taufik sempat terobati setelah menerima surat balasan dari Marlena. Kesempatan tersebut tentu dimanfaatkan sebaik-baiknya, karena tak sekejap pun ia terlalui, maka besarlah resiko yang dihadapi.
Dan kini semuanya telah berakhir. Pikiran-pikiran kosong yang kerap menghantui Taufik telah terisi dan terjawab dalam situasi yang menggairahkan. Apalagi kemampuan istrinya itu, dapat diandalkan dalam segala hal, yang akhirnya banyak mendukung keberhasilan suaminya.
Ada rasa aneh dan haru tersimpul di hati Marlena, ketika suatu saat berbincang-bincang kecil dengan seorang warga.
“Untung Ibu segera datang, kalau tidak, bisa begini,” kata seorang warga seraya menyilangkan telunjuknya di dahi. Dan wanita itu, ternyata wanita yang pernah menghadap Pak Lurah.
Perjalanan panjang kehidupan Marlena adalah perjalanan panjang perempuan Madura. Perjalanan penuh rintangan yang kerap menggores kenangan pahit getir dalam satu kurun jaman yang penuh dengan pengalaman. Lintasan waktu yang kadang menjebak dan meruntuhkan semangat perjuangan bagi perempuan Madura, kini menemukan kembali jejak-jejak lama yang masih tersisa dalam jiwanya.
Itulah salah satu wujud pergulatan seorang wanita yang dilahirkan dari ganasnya kobaran api jaman dan kungkungan tradisi lingkungan, yang kerap kali menjerumuskan ke lembah penyesalan. Hal ini memang kerap terjadi, khususnya di wilayah pedesaan di bumi nusantara ini. Jadi kalaupun Marlena terjebak di lingkungan tradisi pedesaan Madura, hanya merupakan salah satu contoh bagi generasi bangsa Indonesia, bahwa sebenarnya di daerah-daerah terpencil masih banyak keterbelakangan hidup untuk diperhatikan oleh kaum generasi mudanya. Dan Marlena membuktikan itu semua, meskipun harus berkiprah dalam kondisi yang berbeda.
Namun sebenarnya tempat bukanlah menjadi alasan untuk menyingsing lengan baju, turun bahu membahu dalam kancah kehidupan masyarakat status rendah. Dengan demikian, persepsi yang cenderung mengarah pada sentrisme dapat terhindar sesuai dengan makna kehidupan yang sebenarnya.
Apalagi sebagai bagi umat beragama, hidup saling tolong menolong, bahu membahu antara sesama merupakan kewajiban yang tidak dapat ditolak. Benar apa yang disabdakan Nabi Muhammad SAW, bahwa orang muslim saudara orang muslim, tidak boleh menganiaya dan membiarkan dianiaya. Siapa yang menyampaikan hajat saudaranya, maka Allah akan melaksanakan hajatnya. Dan siapa yang membebaskan kesukaran orang muslim, maka Allah akan membebaskan kesukaran pada hari kiamat. Dan siapa yang menutupi kejelekan orang muslim, Allah akan menutupi kejelekannya pada hari kiamat.
Jadi kalau Marlena antusias menggelorakan semangat di tanah seberang, lantaran pernah merasakan bahwa tanggung jawab manusia adalah tanggung jawab kepada sesamanya.
Memang bila dikaji lebih dalam, kenyataan hidup Marlena merupakan figur wanita yang penuh ketabahan, keyakinan dan bersemangat menapak kebenaran. Justru itu, banyak teman-teman lamanya, baik sewaktu masa kecil di Kampung Lebak atau sewaktu menikmati masa remaja, ketika dijadikan anak angkat oleh keluarga Pak Toha, pun sewaktu ia di bangku kuliah serta saat-saat ia menikmati rumah tangga bersama Ilham, bahkan hingga sampai saat ini pun Marlena masih menjejalkan semangatnya di tanah seberang, mampu dan dapat menularkan semangat baru bagi warga-warganya. Untuk itu, tepatlah bila akhirnya Marlena diberi predikat wanita yang menjadi panutan oleh kaumnya.
Waktu pun berlalu begitu cepat. Sebagai istri lurah, ia selalu memberikan pengalaman-pengalaman bagi warganya, sehingga tanpa diduga hanya beberapa lompatan tahun saja wilayah yang digarapnya telah menjadi wilayah yang penuh dengan harapan. Bahkan keberhasilan pembangunan yang sempat mengharumkan nama kelurahan itu mendapat perhatian dan pujian dari desa atau kelurahan lainnya. Untuk itu, secara aklamasi sesuai dengan surat keputusan Bupati setempat bahwa wilayah yang dipimpin oleh Lurah Taufik dinobatkan sebagai kelurahan teladan.
Demikian juga keberhasilan rumah tangga Taufik dan Marlena, selaras dengan keberhasilan pembangunan di desanya. Rumah tangga yang terbina atas dasar pengertian, pemahaman serta semangat untuk mencapai rumah tangga bahagia telah direngkuhnya. Kebahagiaan itu semakin bertambah dengan hadirnya seorang anak laki-lakinya, yang montok dan sehat.”Bila bayi kita nanti lahir, aku mohon bila laki-laki diberi nama Fajar, bila perempuan diberi nama Fatimah,” harap Marlena saat masih mengandung.
Mendengar harapan istrinya, Taufik merestui dengan arif dan bijaksana. Karena ia tahu betul bahwa harapan itu merupakan refleksi dari tautan batinnya ketika ia sedang menenun suka duka dalam satu keluarga Pak Toha. Ternyata harapan itu terkabul, sesaat anak laki-laki keluar dari rahimnya kemudian diberi nama Fajar.
Perkembangan Fajar kecil, ternyata sangat menggembirakan, sehingga ketika Fajar berusia lima tahun, kemudian lahir kembali seorang anak perempuan yang kemudian diberi nama Fatimah.
Fajar dan Fatimah merupakan untaian mutiara yang mengisyaratkan betapa besar pengaruh perjalanan hidup Marlena terhadap masa depan generasinya. Fajar dan Fatimah bagi Marlena merupakan contoh figur dua orang anak manusia yang diasuh oleh ketabahan dan keberhasilan orangtuanya. Sehingga bila pada suatu ketika, Marlena terjebak oleh kerinduan terhadap kedua kakak angkatnya itu, akan segera terobati bila memandang kedua anaknya.
Sebagai orang Madura yang selalu menghargai tali persaudaraan dan silaturrahmi antara keluarga, hubungan batin dengan kedua kakak angkatnya itu masih tetap berjalan, meski hanya melintasi surat saja. Dan sesekali Marlena meluangkan waktu berkunjung ke Madura. Paling tidak setahun sekali yang ditepatkan pada hari raya.
“Aku bersyukur, kau telah menemukan dirimu yang sebenarnya,” kata Fatimah ketika segenap keluarga lurah itu berkunjung ke Madura pada hari raya lalu.
“Terima kasih kak, ini semua berkat keikhlasan hati ayah yang telah memelihara dan membinaku menjadi manusia yang lebih berarti,” jawab Marlena kepada kakak angkatnya yang telah merengkuh kehidupan rumah tangga dengan dua orang anak pula. Sedangkan Fajar, puas dengan jabatan kepala di instansinya dengan tiga orang anak.
“Sebenarnya sebagai pejabat hendaknya memberi contoh yang baik terhadap masyarakat. Lalu bagaimana KB (program keluarga berencana) bisa berhasil, kalau pemimpinnya sendiri tak melaksanakan?” gurau Marlena kepada Fajar.
“Ah, hanya kesalahan teknis saja,” timpal Fajar.
“Itu sih, bukan kesalahan teknis. Tapi Kak Fajar ceroboh cara ……”
“Hus ! Itu rahasia perusahaan,” potong Fajar seenaknya.
Saat-saat seperti itulah, saat yang paling mengesankan dalam suasana keakraban keluarga. Suasana untuk mengenang kembali kesan-kesan lama bagi kehidupan Marlena.
Kini setelah kedua figur itu semakin mengerti keadaan orang tuanya, maka tak heran bila Fajar dan Fatimah kecil mendorong semangat Marlena pada masa-masa selanjutnya. Begitupun Taufik, sebagaimana yang pernah ia akui sewaktu mereka masih duduk di bangku SMA dulu, menerima keadaan Marlena dengan apa adanya. Ia tidak pernah mengungkit kenangan-kenangan pahit yang pernah dialami Marlena, sehingga pertalian hidup suami istri itu semakin nampak lebih bergairah. Hal ini lantaran kedudukannya sama-sama maklum akan keadaan masing-masing.
Pagi ini, sebagaimana pagi-pagi sebelumnya, burung-burung berkicau di dahan-dahan yang rimbun. Hal ini pertanda bahwa kicau itu merupakan kicau ucapan selamat kepada para petani dan segenap penghuni alam ini, untuk menikmati kembali suasana baru dalam kehidupan duniawi. Kicau yang menepiskan malam dari alam mimpi. Itulah awal kehidupan makhluk Tuhan untuk melaksanakan tugas dan beban tanggung jawabnya sebagai makhluk yang mensyukuri nikmat-Nya.