Marlena; Awal Datangnya Sepi

“Sudah Yah, saya cari kerja saja,” jawab Marlena, ketika Pak Toha bertanya tentang kelanjutan pendidikan anak angkatnya.

“Bekerja dengan modal ijazah SMA-mu,” kata Pak Toha. “Kalau memungkinkan. Kalau tidak?”

“Tergantung Ya,” sahut Marlena sekenanya

“Tergantung apanya?”

“Keadaan”.

“Nah, berarti kau masih belum berani menjawab cita-citamu.”

“Jadi?”

“Yah, kau harus meneruskan sekolahmu.”

“Jadi ayah merestui.”

“Lho kenapa tidak? Karena kau melihat ayah telah pensiun lalu tidak mampu membiayai sekolah,” jelas Pak Toha.

Marlena tidak menyahut, hanya di pelupuk matanya tampak butiran-butiran kecil kemudian mencair di sela-sela matanya. Ia merasakan seakan-akan pikirannya dilempar ke angkasa luar, sedang dari atas sana sejuta manusia berkerumun mengais hidup tanpa berbekal ilmu, sehingga tampak seperti pesakitan mengais-ngais makanan dalam luka. Dan dari atas sana pula, di mata Marlena tergambar wajah-wajah legam yang tersulut oleh tatapan matahari yang meradang di sekitar pesisir pantai.

Mengingat pesisir pantai, Marlena jadi ingat perjuangan ayahnya ketika ia masih belum mengenal apa arti pendidikan sebenarnya bagi kepentingan hidup. Kalau dulu, Marlena merengek-rengek minta sekolah SD itu lantaran ia tertarik oleh kesan-kesan Kamil ketika bercerita pengalamannya waktu sekolah di kota, meskipun pada akhirnya kenyataan yang dihadapi berbalik.

Dari terawangan pikirannya itu, justru semakin memperuncing ingatannya pada masa lampau Marlena. Sebenarnya masa-masa itu telah ia tenggelamkan ke dasar laut pantai Lebak, tanah kelahirannya. Namun saat-saat ia membayangkan betapa cita-citanya mulai nampak bermekaran, masa lalunya satu demi satu mulai bermunculan. Seakan ada garis penghubung jarak antara cita-cita dan kenyataan masa lalunya. Meski demikian, Marlena masih berusaha menjawab permasalahan-permasalahan pikirannya yang kadang muncul seketika.

Sebagai seorang peminat sastra, kepekaan pikiran dan jiwa Marlena nampak jelas sekali. Ia mudah terenyuh bila berhadapan dengan keadaan yang terlilit duka dan ia akan selalu tampak ceria, bila suasana suka mengerubungi hatinya. Seperti kata pepatah, ke laut ia menyelam, ke bumi ia memendam.

Sejak Marlena diberi harapan oleh ayah angkatnya itu, sisa-sisa waktunya dimanfaatkan sepenuhnya untuk lebih konsentrasi dalam sekolah. Ia ternyata berambisi untuk berebut peringkat tertinggi hasil ujian nanti. Untuk itu, ia telah sepakat dengan Taufik, bahwa pada masa transisi menghadapi Ebtanas nanti, pertemuan keduanya dijarangkan, kecuali dalam suasana tertentu. Demikian juga dengan Taufik, ia semakin terdorong untuk lebih giat belajar, meraih keberhasilannya dalam UMPTN di Universitas Jember kelak. Atau boleh dikata, tak ada waktu tanpa belajar.

Pada detik-detik akhir Ebtanas, keduanya ternyata berhasil sempurna, sehingga laut suka tampak menggenang di wajah mereka.

“Bagaimana Len, kau lulus?” tanya Narti.

“Alhamdulillah, berkat kerja keras dan doa kita,” sahut Marlena sumringah

“Taufik bagaimana?”

“Lulus.”

“Syukurlah.”

“Dan kau sendiri?”

“Lulus.”

Keduanya berpelukan, seakan mengisyaratkan pelukan perpisahan bagi kedua sahabat itu.

“Kamu jadi ke Surabaya?”

“Iya dong.”

“Selamat, mudah-mudahan kau diterima di IKIP Surabaya (sekarang UNESA).”

“Doakan Nar.”

“Jangan khawatir. Demi persahabatan kita, kukhususkan doa untuk kalian,” janji Narti.

“Kau lihat Taufik?” tanya Marlena tiba-tiba.

“Itu di kantor bersama mas Jamil.”

Hanya beberapa saat kemudian, Pak Jamil beserta Taufik muncul di depan mereka. Melihat kehadiran Taufik, sebenarnya Marlena ingin menyambutnya dengan pelukan suka. Namun niat itu segera ia kendalikan, meski ia merasakan betapa hari ini, merupakan titik awal perpisahan keduanya.

“Selamat Lena, semoga kau hasil di IKIP nanti,” sambut Taufik tak bersemangat namun menunjukkan wajah senang.

“Terima kasih. Semoga engkau pun berhasil di UNEJ.”

“Sebagai rasa syukur kalian, hari ini kalian aku traktir,” ujar Pak Jamil.

“Wah, dapat rejeki ya?”

“Kecil-kecil dari honor tulisan.”

Lalu mereka berempat meninggalkan tempat itu.

Setelah mereka puas oleh soto ayam traktiran Pak Jamil, mereka berempat segera meninggalkan warung itu menuju rumah masing-masing. Yang tersirat dalam pikiran mereka, detak-detak waktu yang sesaat lagi akan memisahkan persahabatan yang terjalin begitu akrab. Bagi Narti dan Pak Jamil, justru waktu yang menghadang di depannya adalah tirai yang sesaat lagi akan menguak dalam satu pergumulan hidup baru sebagaimana yang diidamkan oleh remaja yang cukup mampu menggeluti hidup berumah tangga.

Beda dengan Taufik dan Marlena. Keduanya kini justru dihadapkan oleh sebuah jarak yang mungkin akan menyekat di antara keduanya. Namun sejauh itu, setelah menjadi kesepakatan bersama, apapun alasannya, pengalaman dan sekolah melebihi dari segala-galanya.

“Sebentar lagi jarak dan waktu akan membatasi perjumpaan kita. Aku kadang takut dan khawatir, mungkinkah jarak dan waktu dapat kita tembus?” keluh Taufik sesaat pulang bersama Marlena, setelah menikmati soto ayam traktiran Pak Jamil.

Marlena tidak segera menjawab, meskipun di benaknya dihadapkan dalam satu permasalahan yang sama. Namun bagi Marlena, ucapan Taufik itu merupakan ancaman berat yang mungkin akan mempengaruhi pikirannya selama ia berjuang melawan kenyataan yang dihadapinya kelak.

“Tak ada senjata yang paling ampuh kecuali kita harus sadar dan mampu mengutamakan kepentingan kita.”

“Maksudmu?”

“Sulit kubayangkan. Sebab kita akan dihadapkan oleh kenyataan yang mungkin saja kita menghadapi permasalahan-permasalahan baru. Atau paling tidak, peringkat konsentrasi belajar dan pengalaman kita akan lebih berat bila dibandingkan sesaat kita masih di SMA.”

“Kini aku paham dengan posisi kita.”

“Ya, mudah-mudahan Tuhan selalu memberkati cita-cita kita.”

Itulah ungkapan terakhir isi hati kedua remaja itu. Sebab perpisahan keduanya pasti akan terjadi. Mungkinkah bara cinta itu dapat berlanjut? Itulah pertanyaan kedua hati yang sulit dijawab. Lantaran saat itu pula, Taufik sendiri akan memisahkan diri untuk kembali ke tanah kelahirannya di Banyuwangi.

Untaian suka atas keberhasilan Marlena lulus Ebtanas, ingin segera disampaikan kepada orang tua angkatnya. Jarak yang ditempuh antara warung soto dengan tempat tinggal Marlena, sebenarnya hanya beberapa ratus meter saja. Namun bagi Marlena jarak itu terasa berkilo-kilo meter, meski langkah kakinya dipercepat sedemikian rupa. Baru dada Marlena terasa lega menginjakkan kakinya di halaman rumah Pak Toha.

Justru yang terlontar setelah menjumpai Pak Toha dan Bu Rasmi adalah tangis bahagia yang mungkin sulit digambarkan dalam bentuk kata-kata. Sehingga akibatnya, kedua orang tua itu timbul rasa curiga dan khawatir, bila Marlena tidak berhasil lulus ujian. (*)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.