Marlena, Perjalan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk buku, , dan diterbitkan Penerbit Bening Pustaka, tahun 2019, ISBN 9-786237-10404
Episode Satu
Pesisir Lebak, Juni 1992
Ketika matahari mulai condong ke arah barat, para nelayan mulai bersiap menuju pantai untuk turun ke laut. Debur ombak laut utara Pulau Madura kian menggelegar bersamaan laut pasang. Bagaikan orkestra yang diciptakan oleh alam untuk mengantarkan semangat pelaut-pelaut perkasa ke medan laga.
Cakrawala bersih dalam sapuan bias matahari menimbulkan warna merah tembaga, yang tampak bagaikan permadani yang menghampar di kaki langit lepas. Demikan pula burung-burung camar mulai menggerayangi gari-garis pantai, seolah disitu terdapat sebuah permainan yang dikendalikan oleh berbagai latar kehidupan manusia.
Orang tua, kaum muda, laki-laki perempuan, bahkan anak-anak mulai sibuk mengemasi peralatan penangkapan ikan yang dibutuhkan untuk berlayar. Dan perahu yang di ombang- ambing ombak di pantai seolah melambai-lambai menyampaikan salam bagi sanak keluarga yang akan di tinggalkan oleh awaknya. Begitulah perjalanan nasib pelaut-pelaut Madura yang telah melekat kehidupannya dalam selimut angin dan berbantal ombak. Ollè olang.
Madura, menurut mereka adalah tanah galian yang dicipta oleh keringat dan darah para pendahulu mereka. Masih belum hilang dari ingatan mereka bagaimana perjuangan para masa kejayaan kerjaan di Madura, pahlawan Trunojoyo, Ke’ Lesap atau pahlawan mereka pada masa perjuangan merebut kemerdekaan di tanah Madura, yang mereka terima kisah itu dari mulut nenek pendahulu mereka. Dan hingga saat ini pun semangat juang mereka masih melekat dalam dada generasi penerusnya.
Dengan perlahan, matahari mulai menulik dan menembus diketiak malam. Gerak manusia disekitar pantai, kini yang tampak hanya bayang-bayang dalam keremangan senja. Dan saat itu bulan muncul di cakrawala timur dengan wajah bulat penuh, bias sinar merona dalam warna kuning keemasan. Langit cerah hanya berawan tipis mengawang bagai tiupan kapas dalam semburan warna sumba. Sehingga nampak jelas bola lampu raksasa yang menggantung di bawah langit itu, sungguh mempesona tiada tara.
Sementara di kejauhan terdengar sayup-sayup suara adzan magrib dari sebuah surau perkampungan nelayan. Bersamaan itu, kesibukan dipantai lenyap perlahan-lahan. Yang tersisa hanya debur ombak pantai dan perahu-perahu yang bergoyang mengikuti irama gelombang.
Di perkampungan tak jauh dari pesisir, nampak kesibukan baru dalam menyambut malam. Orang laki-laki dan perempuan serta anak-anak yang telah berpakaian rapi bergegas menuju surau. Tubuh yang tadi berlepotan pasir, kini telah bersih terbungkus sarung dengan setelan baju sederhana serta memakai kopiah, bershaf sholat berjamah. Peristiwa kecil ini menandakan begitu kuat kebutuhan rohani mereka yang diselaraskan dalam tradisi, baik saat melaksanakan ibadah, maupun dalam kehidupan sehari-harinya
Seperti hari-hari sebelumnya, nelayan yang akan berangkat menuju laut, dituntaskan setelah turun dari surau, kemudian bersiap merebut kemenangan dengan menjala ikan di tengah lautan. Sementara anak-anak meneruskan kegiatan mengaji hingga waktu sholat dalam kehidupan sehari-hari sampai sholat Isya tiba.
Bulan makin meraupi perkampungan nelayan. Kampung Lebak yang hampir semua penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan, adalah bagian kecil yang dihuni oleh masyarakat Madura. Madura pada dasarnya memiliki banyak kekayaan alam, tetapi dikampung ini justru masih tertinggal jauh perkembangannya bila dibanding dengan wilayah pesisir lainnya.
Namun menariknya di kampung yang merupakan bagian desa Tlonto Raja, Pasean ini berbatasan langsung dengan laut. Kampung ini dilindungi oleh tangkis laut buatan untuk menghalau gelombang laut. Pun ditempat itu pula tempat sandar banyak perahu nelayan yang digunakan untuk melaut oleh warga. Perahu yang digunakan oleh warga yang umumnya berhias dan beraneka warna-warni.
Untuk mengejar ketertinggalan pembangunan, secara lambat laun membuahkan perangkat desa setempat mulai menumbuhkan pemikiran untuk maju. Dan ini dibuktikan dengan berdirinya beberapa sekolah atau madrasah. Sehingga anak-anak tidak lagi terlantar seperti tahun-tahun sebelumnya. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa hanya dengan pendidikan inilah mereka dapat memanfaatkan kesempatan meraih kemenangan pada masa mendatang. Sikap gotong-royong yang dilandai dengan nilaii kebersamaan dan senasib sepenanggungan mendorongnya dalam proses kemajuan lebih cepat. Kondisi ini didorong dengan adanya media elektronik yang mulai dimiliki oleh beberapa penduduk. Sehingga mereka mengetahui perkembangan dunia luar.
Saat-saat bulan pernama bagi masyarakat pesisir merupakan saat yang paling menyenangkan karena pantai tak lagi gelap, seperti hari-hari sebelumnya. Warga kampung lebak memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin. Sebagian warga menggelar tikar dihamparan pasir yang lembab, karena tersiram hujan kemarin malam. Para oeng tua berleha-leha mempebincangkan nasib dan perkerjaan mereka. Sementara anak-anak bersuka cita dengan bermain dibawah siraman rembulan. Anak lelaki dan perempuan berbaur menjadi satu. Mereka bermain kejar-kejaran, lompat-lompatan, serta bermain permainan tradisional seperti yang pernah dimainkan orang tuanya dahulu, misalnya lar-kolanjhãng, ke’-rangke’ kokkonèngan, dan lain sebaginya.
Sedang sekelompok lainnya kidungan seperti:
pa’ kopa’ èling
èlingnga sakoranjhi
eppa’na ollè paparing
ana’ tambãng tao ngajhi
ngajhi bãbãna cabbi
ka’angka’na sarabhi potthon
è cocco’ dãngdãng pote kebã mole
è cocco’ dãngdãng celleng kebã melleng
(bertepuk-tepuk ingat, sadar sekeranjang
sang bapak mendapatkan anugerah
anak bodoh jadi (bisa) mengaji
mengaji di bawah cabai, suguhannya serabi gosong
di patuk elang putih di bawa pulang
di patuk elang hitam dibawa nakal)
Ada juga melantunkan pantun seperti ini
lir sa’alir alirkung, kan akowak epakajã, ma’ ta’ rengsa se nyarè
lir sa’alir alirkung, reng ta’ kowat jã’ akarjã, ma’ ta’ sossa budi are
lir sa’alir alirkung, ka ghunong ngala’ nyorowan, kopè bellã kabãddã’ã
lir sa’alir alirkung, pèkkèr bhingong ta’ karowan, napè bulã katambã’ã
(lir sa’alir alirkung, karena berteriak dengan nyaring, bila mencari biar tidak penat
lir sa’alir alirkung, orang yang tidak kuat jangan bekerja (hajat besar-besaran), biar tidak sengsara hari selanjutnya
lir sa’alir alirkung,ke gunung mengambil tawon, botol pesah buat wadah
lir sa’alir alirkung,mpikiran bingung tidak menentu, apa yang harus jadi obatnya)
dan seterusnya
Keasyikan dalam bermain, sekelompok anak pessisir ini sampai melupakan waktu, hingga kelelahan ketika larut malam telah tiba.
*****