Ketika sinar matahari menembus dinding anyaman bambu, anak-anak yang kelelahan bermain semalaman itu mulai tersadar, bila pagi telah tiba. Hal ini juga dirasakan oleh tubuh Marlena. Dia mengeliat di atas lencak (balai bambu) tempay tubuh Marlena tergolek. Sesekali tubuhnya menggeliat menghindari tikaman sinar matahari yang tepat mengarah wajahnya.
Marlena masih malas dipembaringan, saat Bruddin, ayah Marlena kembali dari pantai sebagai buruh angkut hasil penangkapan ikan. Kadangkala Bruddin menghabiskan waktu luangnya memancing ikan di laut dengan jhukong (sampan kecil). Sebab hanya itulah kemampuan Bruddin mengais rejeki setiap fajar menyingsing. Sementara kondisinya tidak memungkinkan lagi untuk berlayar mengarungi lautan. Ia merasakan keterbatasan ini menjadi belenggu yang sulit dilepaskan. Tapi ia sadar, bahwa Marlena, anak semata wayangnya itu masih membutuhkan kasih sayang penuh dari seorang ayah.
“Lena:…, ayo bangun. Hari sudah pagi,” gugah Bruddin. Marlena masih tergolek lemah. “ayo bangun, sudah pagi,” ulang orang tua tunggalnya itu.
“Capek ayah,” sahutnya tanpa menoleh
Bruddin menggeleng-gelengkan kepala. Ia biarkan Marlena meneruskan tidurnya. Dan ia langsung menuju dapur, meski sebenarnya antar tempat pembaringan dan dapur hanya dibatasi oleh selembar gedek seberdirian manusia.
Ia nyalakan api diatas kayu yang ia dapat dari mengumpulkan di sepanjang pantai tempo hari. Demikan pula beras yang ia beli dari upah juragan Muksin, diseduh-seduhkannya didalam polo’ (kuali) yang tergeletak diatas perapian tomang (tungku). Asap mengepul memenuhi ruangan tiga kali empat meter yang hanya pantas digunakan sebagai kandang sapi.
Saat Bruddin merasakan sesuatu yang kerap ia rasakan pada hari-hari sebelumnya. Ada sekeping luka melintas, bagai bara api menyulut hatinya.
Ia tiup kuat-kuat bara api dihadapannya. Sesaat kemudian api menjalar disekitar tunhku, sehingga polo’ yang berisi jelaga itu seakan akan meronta-ronta kepanasan. Mungkin itulah perumpamaan hati Bruddin bila merenungi nasibnya. Telah sekian kali ia berontak, tapi nasib itu masih lekat memeluk dirinya.
Api padam kembali, sehingga asap putih yang mengambang di hadapannya menembus tepat dicelah matanya. Ia ingin menjerit nyaring, tapi jeritan itu terhenti di kerongkongannya.
Dengkur Marlena terdengar makin lirih. Ia dekati anak itu, ia tatap wajahnya dalam-dalam. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik keluguan wajahnya. Ada garis-garis yang menggambarkan kerinduan.
“Entah apa yang akan kupenuhi masa depanmu nak, sementara kita masih diburu oleh kemiskinan. Sedang kau yang pada saatnya nanti menuntut keadilan, sebagaimana keluhan-keluhan yang kerap menggetarkan jiwaku. Kini kau harus puas memamah derita. Tidak seperti temanmu Patimah, yang kadang mengiming-imingkan gelang emasnya di depanmu. Atau Marbuah yang kini mendapatkan kemenangan setelah disunting oleh juragan perahu.” kata hati Bruddin sambil mngusap dahi anaknya. Ada getaran yang mengalir dari sentuhan tangannya.
Dalam hati Bruddin merasa berdosa mendukung kelahiran anak itu dari rahim ibunya dulu. Kenapa ia harus lahir, kalau hanya bergelut dalam derita? Ia pandangi lagi wajah anaknya lebih dalam. Terasa ada sesuatu yang merasuk hatinya. Ada sesuatu yang tersembunyi dan terungkap jelas di mata Bruddin. Wajah itu, wajah yang pernah memberi kemenangan, kebanggaan dan kebahagiaan, yang kini terukir jelas di wajah anaknya. Yah, itulah wajah Salehah, istrinya.
Ada rasa sesal dihati Bruddin. Kenapa Tuhan terlalu cepat memanggilnya justru pada saat Marlena membutuhkan rasa sedap susu ibunya. Seandainya pada saat itu ia memiliki biaya melahirkan di rumah sakit kota, mungkin akan lain keadaannya. Tapi semuanya telah berlalu, meski akhirnya Marlena menjadi korban sebagai anak piatu.
Bruddin ngat betul, betapa pedih hatinya ketika merasakan saat-saat terakhir menjelang kepergian istrinya. Saat-saat dirinya mengharapkan memetik hasil buah perkawinannya. Namun semuanya musnah, yang tersisa hanyalah tikaman yang dasyat ke dalam jantungnya.
“Tenangkan dan kuatkan jiwamu Leha. Pasti sebentar lagi anak kita lahir,” demikian Bruddin membujuk dan memaksa istrinya, Saleha, pada saat-saat kritis. “kau harus kuat, Leha. Berusahalah….berusahalah…!,” katanya waktu itu. Suleha memang sudah berusaha sekuat tenaganya. Tetapi takdir Tuhan menghendaki yang lain. Pada saat orok itu terlahir, Tuhan .justru memanggil Soleha. Ibu Marlena.
“Ayah menangis,” suara resah membisik disampingnya. Bruddin terjengah. Ternyata Marlena telah bangun dan sempat memperhatikan kekakuan orang tuanya.
“Oh, tidak Lena…tidak,” jawab Bruddin sekenanya. “Mata ayah kemasukan asap. Lihatlah asap ini memenuhi ruangan. Ayah lupa kalau sedang menanak.”, ujar Bruddin. Bau hangus menyengat hidung, dengan tergopoh-gogoh Bruddin memburu ke perapian.
“Ayah pasti menangis. Itu saya lihat mata ayah merah. Teringat ibu ya?”, kata Marlena sambil mendekat di samping Bruddin. Bruddin menggeleng. Ada rasa terenyuh dalam hatinya.
“Ayah bohong. Kata guru ngaji Lena, orang bohong itu dosa, dan bisa masuk neraka.” tandas Marlena. Bruddin terharu.
“Neraka itu panas ya, yah? Sama seperti api itu?,” tanya Marlena menunjuk ke arah perapian. Bruddin terpana.”
Kenyataan hidup ternyata telah menguasai jiwa anak itu. Tuntutan yang tidak diharapkan muncul saat seperti ini, ternyata harus di terimanya, meski harus pasrah. “Apa benar aku ini telah dipenuhi dosa?” pikir Bruddin.
“Ayah kok diam?”
“Ya.”
“Apa yang iya, Ayah”
“Ya. Api itu panas seperti di neraka.”. Marlena puas. Bruddin lega.
“Nah, sekarang ayo pergi mandi. Nanti ikut ayah ke pasar. Katanya ingin punya sandal?” suruh Bruddin pada anaknya. Marlena mengangguk girang. Kemudian bergegas menuju pakèbãn (tempat mandi sederhana) yang terletak disamping rumah. (*)
Bersambung: Episode Dua Marlena: Ingin Sekolah