Kegelisahan menunggu berita keberadaan Marlena, yang paling tampak terjadi pada diri Bu Rasmi. Ia seakan kehilangan semangat memperhatikan dirinya, sehingga sejak kemarin Bu Rasmi selalu dihantui rasa takut dan khawatir. Beda dengan Pak Toha. Meskipun dalam hatinya terasa tersayat oleh peristiwa itu, namun sebagai laki-laki yang bijaksana ia masih mampu bertahan dan membaca keadaan.
“Sudahlah, jangan terlalu banyak kau pikirkan tentang Marlena. Insya Allah, ia akan pulang dengan selamat,” bujuk Pak Toha dalam suara gemetar.
“Kasihan Marlena,” seru Bu Rasmi dalam isak.
“Yah, kita serahkan saja kepada Yang Maha Kuasa. Aku yakin, Marlena akan mampu menjaga diri.”
Sedang Darwis dan Fatimah mulai menyusuri jalan menuju Kampung Lebak. Keadaan kampung yang pernah ia datangi sepuluh tahun yang lalu, terlihat hanya beberapa perubahan yang tidak begitu menonjol. Namun kebersihan lingkungan terasa telah ada perkembangan, sehingga Fatimah lebih leluasa memperhatikan gerak-gerik warga dalam kesibukan paginya, baik warga yang akan menuju ke pasar maupun yang akan menuju ke pantai menyongsong kedatangan para nelayan dari melarut laut.
Ada rasa bangga tersimpul di hati Fatimah, tatkala melintasi sekolah dasar, tempat Marlena dulu bersekolah. Di situ, terasa banyak perkembangan. Baik yang terlihat dari gedung sekolahnya maupun murid-murid yang berjalan menuju ke tempat belajarnya.
Tiba-tiba pikiran Fatimah terasa dilambungkan dalam suatu keadaan, di mana ia pernah menemukan sebutir mutiara yang ditempa oleh hiruk pikuknya perjuangan melawan nasib. Dan nasib mutiara itu, kini telah menjadi sebuah harapan bagi generasi penghuni Kampung Lebak. “Kasihan anak-anak di sini, Kak. Kebanyakan dari mereka tidak bisa melanjutkan sekolah setelah dari SD,” kata Marlena suatu ketika sepuluh tahun yang lalu, ketika ia baru menginjak di bangku kelas dua.
“Lho, kenapa, melanjutkan sekolah itu kan lebih baik?” tanya Fatimah.
“Iya, maunya mereka ingin meneruskan ke SMP di kota, tapi habis orang tuanya tidak mampu,” celoteh Marlena kecil. “Kadang-kadang bagi perempuan yang masih kecil, sudah harus jadi pengantin (dinikahkan). Sedang laki-laki harus banyak membantu di laut.”
“Lena sendiri bagaimana?”
“Kalau Lena sih, ingin sekolah yang tinggi seperti kakak,” sahut Marlena bangga.
Mendengar ungkapan jiwa yang lugu itu, hati Fatimah terasa trenyuh seakan dibebani oleh beribu tanggung jawab dalam mengangkat derajat generasi muda Kampung Lebak, dalam kondisi yang lebih baik. “Lalu apa yang harus aku perbuat,” pikir Fatimah.
Toh kenangan kecil pada akhirnya harus berbalik mengancam masa depan Marlena. Hanya beberapa bulan kemudian, justru ucapan-ucapan Marlena terhadap dirinya sendiri. Ia harus menyerah pada tradisi yang telah mengakar di kampung itu. Dan Fatimah hanya mampu menahan dada, melihat kenyataan yang tidak terduga itu.
“Heh, kok melamun, ayo di mana arah kita selanjutnya?” tegur Darwis yang mengendalikan mobil kijangnya. Fatimah tergagap, hanya beberapa menit saja tercengang, ternyata telah melampui gejolak hatinya dalam suasana panjang. (*)