Marlena, Perjalan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk buku, , dan diterbitkan Penerbit Bening Pustaka, tahun 2019, ISBN 9-786237-104049
Episode Lima
Rumah megah di tepi jalan raya itu tampak asri. Halamannya yang luas dengan taman anggrek yang luas tertata rapi, serta sederet sangkar burung dari berbagai jenis, membuat rumah ber cat hijau tambah keren. Di rumah itulah Fatimah bersama Fajar, kakak lelakinya, dibesarkan. Biarpun berasal dari keluarga terpandang, Fatimah dan kakaknya merupakan remaja yang supel dan disukai teman-temannya.
Sore itu Fatimah duduk di teras sambil mencermati hasil penelitiannya di Kampung Lebak. Tiba-tiba matanya terhenyak ketika melihat seorang anak perempuan yang nenadahkan tangan di halaman muka. Serta merta Fatima merogoh sakunya dan memberikan uang logam pada anak itu. Hati Fatima begitu terenyuh. Bagaimana mungkin anak sekecil itu sudah harus mempertaruhkan hidupnya yang ia dapat mengais nasib dari pintu ke pintu.
Sebenarnya Fatimah tidak perduli, kalau bukan anak perempuan. Ia merasakan betapa beratnya mengulur hidup tanpa bimbingan dan kasih sayang orang lain. Sebenarnya dirinya yang banyak diperhatikan oleh kedua orangtuanya, kadang merasa tidak puas kalau membiarkan begitu saja anak-anak yang terlantar.
Setelah anak itu menghilang dari pintu pagar, Fatima baru ingat bahwa waktu penelitian di Kampung Lebak tempo hari, dia berkenalan dengan anak perempuan sekecil itu. “Yah…, Marlena, aku ingin menjumpainya,” pikir Fatimah.
“Den…, dipanggil Bapak ,” tegur Bik Sira, pembantu rumah tangga ini dari belakang seraya mencolek punggung Fatimah. Fatimah tersentak seketika.
“Ada apa Bik?” tanya Fatimah.
“Dipanggil Bapak den,” sambung Bik Sira sambil tersenyum. “Mengenang pacar ya?” ujar Bik Sira yang menduga Fatimah sedang melamuni dan mengenang pacarnya.
“Hehehe…,pacar apa? Mikir diri sendiri saja belum cukup, kok mau mikir orang lain,” ujar Fatimah ketus. Disambut tawa renyak Bik sira.
Bik Sira, pembantu rumahtangga keluarga Pak Toha, sebenarnya sudah berusia lanjut. Tetapi dia masih gesit dalam bekerja. Pembantu setia ini sudah ikut keluarga Pak Toha sejak Fajar, putra pertama pasangan Toha dan Rasmi belum lahir. Sedang fajar sendiri kini kuliah di sebuah perguruan tinggi di Surabaya. Sementara Fatimah, kini sudah duduk di bangku SMA. Saking lamaya mengabdi, Bik Sira sudah dianggap sebagai keluarga sendiri. Karena itu, biarpun Fatimah berperan sebagai “juragan” dia masih sering membantu meringankan pekerjaan Bik Sira. Bahkan Fatimah sudah menganggapnya sebagai orangtua sendiri.
Diruang tamu, Pak Toha sudah menanti kehadiran Fatimah, sambil duduk di kursi panjang. Cara ini adalah kebiasaan Pak Toha, bila ada sesuatu yang perlu dipertanyakaan atau dimusyawarahkan. Begitu juga Bu Rasmi, ibu Fatimah, duduk di samping Pak Toha.
“Ada apa Ayah?” tanya Fatimah agak heran.
“Ada sesuatu yang ingin ayah sampaikan,” Pak Toha memulai.
“Ayah dan Ibumu rencana mau pulang kampung.”
“Ke Bangkalan, Maksud Ayah ?”
“Ya…, tadi pagi aku mendapat berita bila kakekmu sakit.”
“Lalu kapan berangkat ayah?”
“Insya Allah besok,” sela Bu Rasmi.
“Tapi Cuma satu atau dua hari. Sebab kalau memungkinkan ayah dan ibumu akan langsung ke Surabaya menemui pamanmu,” tambah Pak Toha. Memang adik Pak Toha ada yang tinggal di Surabaya, dan kini sudah sukses sebagai pengusaha. Bahkan kini sudah naik haji dua kali.
“Tapi bila pamanmu ada di Bangkalan, maka kami akan pulang lebih cepat,” sambung ibunya.
“Kemungkinan hari ini kakakmu akan pulang. “
“Baik ayah.”
Sebenarnya Fatimah mau bangkit dari tempat duduknya, namun tiba-tiba Pak Toha mencegahnya.
“Bagaimana hasil penelitianmu?” tanya Pak Tohaingin tahu.
“Sudah selesai semua ayah.”
“Coba ceritakan pengalaman selama kamu terjun di lapangan.”
“Bukan di lapangan ayah, di Kampung Lebak,” sahut Fatimah memancing suasana. Ketiganya tertawa.
“Yah…, terserahlah!” timpal Pak Toha.
Lalu Fatimah membuka cerita pengalamannya selama melakukan penelitian di Kampung Lebak. Pak Toha mendengarkan dengan seksama. Ceritanya tentang bagaimana mereka berjuang melawan hidup di tengah lautan, masalah pendidikan yang masih terbelakang, tentang lingkungan, serta masalah lain yang berkaitan langsung dengan latar belakang penelitiannya.
Fatimah menceritakan semua pengalamannya, tanpa kecuali Marlena. Karena gadis cilik anak nelayan miskin itu, begitu lain dengan gadis desa pada umumnya. Marlena mempunyai kemauan yang kuat umtuk meraih cita-cita. Dia begitu gigih untuk berjuang menghadapi perjuangan hidup. Biarpun anak perempuan, tapi Marlena mempunyi potensi yang begitu besar, sayang kurang mendapat perhatian dan pengembangan. Ternyata Pak Toha sangat tertarik dengan cerita tentang Marlena.
“Itulah ayah, aku kasihan melihat keadaannya,” keluh Fatimah, seakan meminta ayahnya untuk turut memikirkan gadis itu.
“Yah…, memang benih unggul terkadang tumbuh dari pelosok. Banyak para petinggi kita di negara ini juga dari pelosok desa. Berkat usaha dan pendidikannya, toh kini beliau mampu memimpin sebuah negara,” cerita Pak Toha.
“Ayahmu itu juga berasal dari desa,” celetuk ibunya.
“Yah…, begitulah. Ternyata kekayaan di negara kita bukan hanya berupa kekayaan bumi yang tidak ada habis-habisnya untuk digali. Tetapi juga potensi manusia yang sebenarnya mampu menandingi kemampuan negara maju di dunia, selama kita sadar memanfaatkan kesempatan yang sebaik-baiknya,” jelas Pak Toha.
Sebenarnya Fatimah setuju dengan pendapat ayahnya. Tetapi masih ada keraguan dalam hatinya. “Tapi bagaimana mungkin potensi mereka dapat berkembang, bila kondisi mereka selalu terjepit oleh posisi kehidupannya?” tanya Fatimah.
“Kalau mereka tidak berusaha, bagaimana mungkin bisa berkembang? Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, bila kaum itu sendiri tidak berusaha mengubahnya. Bukankah demikian?” sela Bu Rasmi.
“Bisa saja mereka berkembang. Asal ada pihak lain yang mau membantu mereka,” tukas Pak Toha.
“Maksud ayah, membantu yang bagaimana?,” tanya Fatimah penasaran.
“Membantu meringankan beban mereka, hingga mereka mendapat peluang untuk mengembangkan kreatifitasnya sesuai dengan bidang dan kemampuan mereka masing-masing,” tandas Pak Toha.
“Bener juga ya…! Kalau begitu apa kira-kira gagasan ayah?” Fatimah terus memburu.