Mendengar ucapan anaknya itu, Pak Toha tersenyum. Seolah merasakan apa maksud pertanyaan Fatimah. “Menurut pendapatmu bagaimana?” ujarnya kemudian.
“Dibantu,” sahut Fatimah cepat.
“Yah…,dibantu,” tegas Pak Toha.
Kesepakatan ayah dan anak ini kurang menarik perhatian Bu Rasmi. Dia sama sekali tidak mendukung gagasan itu. Hal itu dapat dirasakan oleh Fatimah maupun Pak Toha. Mereka maklum. Karena selama ini Bu Rasmi masih sering menampakkan “keakuannya” di hadapan suami dan anak-anaknya. Apalagi terhadap orang lain.
Sikap demikian ini sebenarnya mempunyai latar belakang tersendiri bagi kehidupan Bu Rasmi. Sebagai keturunan dari keluarga berdarah biru, derajat dan kehormatan kadang masih membelenggunya dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini sering membuat Pak Toha kesulitan dalam memberikan pengertian, bagaimana sepantasnya melakukan sesuatu tanpa dibayangi oleh cara kehidupan feodalisme.
Sebenarnya perkawinan antara Pak Toha dengan Bu Rasmi dahulu, dinilai sebagai “pemberontakan” terhadap nilai-nilai yang dianut oleh kaum bangsawan. Perkawinan itu nyaris gagal, kalau Pak Toha tidak pandai menyiasati diri. Apalah artinya seorang manusia yang terlahir dari keluarga sederhana dari desa, dibanding dengan putri seorang Wedana yang karismatik dan dihormati.
Tetapi bukan Mohammad Toha, kalau tidak mendapatkan akal untuk menyunting kembang keraton yang elok rupawan, Raden Ayu Surasmi Sastrodimejo. Karena perbedaan latar belakang itulah, tak heran bila mereka membutuhkan waktu yang cukup lama untuk saling menyelami pandangan hidup pendampingnya. Tapi syukurlah, sedikit demi sedikit Bu Rasmi dapat menyesuaikan diri, hingga mampu bergaul dengan masyarakat pada umumnya.
*****
Minggu pagi, matahari bersinar cerah. Hanya segelintir awan tipis bergerak perlahan, seakan untaian cat warna putih meloncat-loncat dari sebatang kuas seorang pelukis. Lukisan alam itu terasa indah, karena pantulan sinar bias matahari yang masih bergantung di ufuk, mencuatkan warna merah transparan dibagian tepinya.
Fatimah saat itu merasakan suasana damai. Karena kakak satu-satunya telah tiba di rumah tadi malam. Sementara Bapak dan Ibu Toha sudah berangkat ke Bangkalan sehabis subuh tadi.
Dengan manja Fatimah menghampiri sang kakak yang sedang sibuk memandikan sepeda motor kebanggaanya, yang setia mengantarnya menuntut ilmu di di kota pahlawan.
“Kak …,” panggil Fatimah.
Suara Fatimah yang keras mengagetkan ayam bekisar yang sedang mematuk-matuk jagung dalam sangkarnya.
“Kak…!” teriak Fatimah mengulangi panggilannya. Rupanya Fajar tidak mendengar panggilan adiknya, karena dia sedang menghidupkan mesin kendaraannya.
“Ada apa?” sahut Fajar agak nyaring. Lalu dia mematikan deru sepeda motornya. “Ada apa sih…! Seperti anak kecil saja,” gerutu Fajar.
“Kak antarkan aku ke Kampung Lebak ya…,” pinta Fatimah pada kakaknya.
“Ada apa? Nampaknya kok serius banget?” tanya Fajar agak heran. Karena seingatnya, mereka tidak punya saudara atau kenalan di kampung itu. Bahkan selama ini, yang dia tahu Fatimah tidak mempunyai teman yang tinggal di sana. Tapi mengapa tiba-tiba Fatimah mengajaknya ke sana? Lalu apa maunya?
“Sudahlah…, nanti kakak akan tahu sendiri. Sekarang, Kak Fajar mau apa nggak mengantarku ke sana?” kata Fatimah setengah memaksa.
Fajar sudah hafal betul dengan karakter adiknya yang lincah dan manja ini. Kalau sudah maunya, pasti tak bisa ditolak. Selain itu, Fajar tak pernah tega untuk menolak kemauan adiknya yang sangat dia sayangi. Bahkan Fajar rela berkorban apa saja untuk kesenangan adiknya.
“Kak…, mau nggak sih?” desak Fatimah sambil cemberut.
“Oke oke…! Untuk adik tersayang, kapan saja dan ke mana saja, pasti aku mau. Asal…, kamu jangan cemberut begitu. Jelek!” goda Fajar.
Seperti kucing mendapat umpan, Fatimah langsung menerjang dan mencubit kakaknya tanpa ampun. Namun yang dicubit malah tertawa cekikian. Sementara Bik Sira yang melihat dari jauh hanya tersenyum-senyum saja. (*)
Bersambung episode enam: Marlena; Kesedihan Berantai