Marlena, Perjalanan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk buku,
Episode Enam Belas
“Belok kiri saja Mas, kita langsung ke rumah Kepala Desa,” sahut Fatimah yang duduk di samping suaminya dengan suara gemetar.
Di rumah kepala desa Pasongsongan yang mewilayahi kampung atau dusun Lebak, Fatimah segera memuntahkan permasalahan yang dihadapi. Ia ceritakan semuanya latar belakang peristiwa Marlena, mulai sejak Marlena diambil anak angkat sampai peristiwa hilangnya anak itu.
“Kasihan anak Bruddin itu. Saya tahu latar belakang kehidupannya, bahkan saya telah mendengar kalau ia telah bermukim di kota dari warga desa ini. Dan untuk mencari jejaknya kita hubungi dulu ke rumah Kamil,” jelas Kepala Desa. Kemudian mereka bertiga menuju rumah Kamil.
Di rumah yang cukup bagus itu, tak ada tanda-tanda bila Kamil berada di tempat. Tapi seorang wanita yang menggendong anak kecil muncul dari dalam.
“Oh, Pak Kalebun (Kapala Desa), silakan masuk Pak,” sapa wanita muda itu sopan.
Mereka bertiga duduk. Kesan heran terasa jelas di wajah perempuan itu melihat kehadiran kepala desa beserta dua orang yang belum pernah dikenalnya.
“Saya beritahu kak Kamil dulu Pak,” ujar wanita itu tergopoh-gopoh.
“Tidak usah, kamu saja sudah cukup,” sahut Kepala Desa menghalangi.
“Siapa dia, Pak?” tanya Fatimah ingin tahu.
“Istri Kamil, anak kampung tetangga.”
“Oo……” seru Fatimah.
“Maaf, kami mengganggu,” seru Fatimah selanjutnya.
“Oh, tidak,” sambut istri Kamil ragu-ragu.
Sesaat, suasana terasa kaku. Yang terjadi hanya percakapan kecil antara ketiga tamu itu. Akhirnya Kepala Desa langsung menanyakan keberadaan Kamil kepada istrinya.
“Dua hari ini, kak Kamil tidak pulang. Pamitnya tempo hari pergi ke Bangkalan,” jawab tuan rumah itu khawatir. “Sebenarnya ada keperluan apa Pak?” tanyanya kemudian.
“Oh, tidak, kami ingin mengajak kerja sama dalam usaha,” sahut Darwis berbohong.
“Ooh, sayang dia sedang pergi. Saya tidak tahu kapan dia akan pulang,” kata istri Kamil, yang sempat menceritakan bila suaminya sering berhari-hari tidak pulang.
“Tidak apa-apa. Tapi mungkin kamu tahu, di mana ia kini berada?” tanya Kepala Desa.
“Biasanya berada di Sepulu. Karena dua buah perahunya dijalankan dari sana.”
Sepulu adalah wilayah kecamatan, termasuk daerah Kabupaten Bangkalan. Sepulu terdapat pelabuhan kecil yang penduduknya juga banyak terdiri dari kaum nelayan.
“Baik, kalau begitu kami pamit saja,” kata Kepala Desa setelah bercakap-cakap kecil dengan Darwis dan Fatimah. Ketiganya segera meninggalkan rumah Kamil.
Dengan bergegas suami istri itu meninggalkan Kampung Lebak. Dalam benak mereka ada satu isyarat, bila Marlena dibawa kabur Kamil. Dugaan ini telah dikuatkan oleh peristiwa yang sempat terlihat seorang warga kampung itu. Kemarin menurut warga tersebut, bahwa ia melihat seorang wanita sedang berziarah di kuburan. Namun sesaat kemudian, tiba-tiba Kamil muncul dan terjadi percakapan.
Dan percakapan itu katanya, agak aneh, karena seakan terjadi kedua belah pihak bersitegang. Bahkan terlihat, wanita itu merasa ketakutan berhadapan dengan Kamil. Dan untuk selanjutnya, warga tersebut sudah tidak memperhatikan lagi, namun setelah kembali dari keperluannya yang hanya beberapa saat, kedua orang dimaksud tidak tampak lagi.
Dengan demikian, Fatimah berkeyakinan bahwa Marlena telah dipaksa oleh Kamil untuk mengikuti jejaknya. Tapi, entah bagaimana cara mereka, hingga lolos dari perhatian orang lain. Meski demikian, dari penjelasan seorang warga tersebut, paling tidak telah memberikan titik terang, arah tujuan Kamil.
“Kita langsung ke Polsek saja,” kata Darwis sesampai di kota. Untuk selanjutnya mereka melaporkan hasil penjajakannya tentang peristiwa hilangnya adik angkatnya itu. Setelah keduanya melapor, dari pihak kepolisian sepakat untuk memburu yang diduga pelaku yang bekerja sama dengan Polres Bangkalan.
“Sesaat lagi akan kami kirim petugas ke lokasi,” kata Kepala Polsek. Kedua pelapor itu kini menjadi agak lega.
Kegelisahan Pak Toha dan Bu Rasmi semakin menjadi-jadi. Keluarga itu sangat menyesalkan peristiwa yang sangat tragis itu, sehingga tampak jelas terutama yang terjadi pada diri Bu Rasmi yang berakibat lebih buruk bagi kesehatan ibu rumah tangga itu. Dan akibatnya, Pak Toha harus mendatangkan dokter untuk sekedar meringankan beban istrinya.
“Dia shock,” kata dokter setelah memeriksa.
Pak Toha maklum. Penyakit istrinya itu memang berpantang bila berhadapan dengan kenyataan yang mempengaruhi jiwanya. “Tapi, tidak apa-apa, beliau telah beri obat penenang. Mudah-mudahan sebentar lagi normal kembali,” kata dokter selanjutnya.
Mendengar ucapan dokter itu, hati Pak Toha sedikit lega. Pak Toha tidak mampu membayangkan, bila pada akhirnya Marlena belum juga diketemukan. Ia tahu betul sikap dan kasih sayang istrinya terhadap anak angkatnya itu. Seakan-akan limpahan kasih itu hanya dicurahkan kepada Marlena. Sebenarnya Pak Toha merasa bangga terhadap sikap istrinya itu, meski kadang terlalu berlebihan.
Beda bila dibandingkan pertama kali, ketika Marlena menginjakkan kaki di rumah ini. Pertama ia tidak yakin, bila istrinya mampu merubah rasa angkuhnya terhadap keadaan rakyat kecil. Bahkan boleh dikata, ia merasa tabu bila berkumpul dengan masyarakat semacam Marlena itu, ketika pertama kai ia berkumpul bersama dalam satu rumah tangga dengan Pak Toha. Bahkan sesaat anak-anaknya minta persetujuan untuk mengambil anak angkat Marlena, mentah-mentah Bu Rasmi menolaknya. Tapi akhirnya, meskipun dengan terpaksa, Bu Rasmi menerima juga kehadiran Marlena dalam satu keluarga Pak Toha.