Marlena, Perjalan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk buku, , dan diterbitkan Penerbit Bening Pustaka, tahun 2019, ISBN 9-786237-104049
Episode Enam
Yamaha RX yang dikemudikan Fajar melonjak-lonjak melintasi bebatuan yang merentang di atas lorong yang tidak beraspal. Kadang meliuk menghindari lubang-lubang yang menganga dihadapan mereka. Fajar yang bersepeda motor jarak jauh, dengan penuh konsentrasi menunjukkan kepiawaian dalan mengendalikan kuda besinya. Fatimah yang membonceng di belakangnya, kadang merasa merinding bila menoleh kiri-kanan jalan terdapat jurang menganga,siap menelan siapa saja yang lengah.
Matahari masih searah penombakan dilapis timur, ketika keduanya hampir mencapai Lebak. Sementara deru ombak mulai terdengar lantang. Fajar dan Fatimah dengan riag gembira menikmati keindaha alam kampung Lebak. Tanaman jagung nampak menghijau di beberapa petak tegalan.
“Sayang, anugrah sebesar ini belum dimanfaatkan secara maksimal,” guman Fajar saat melintasi jalan setapak diantara tanah tegalan yang kurang terawat.
“Iya…! Pak Kalebun (Kepala Desa) tempo hari juga mengatakan bahwa masyarakat sini kurang begitu perduli lahan pertanian yang terbengkalai. Karena mereka lebih menggantungkan hidup dari melaut. Kalau pun ada tanah pertanian yang digarap, bukan masyarakat sini yang menggarapnya. Tetapi penduduk lain desa,” timpal Fatimah.
Tanpa terasa putaran roda sepeda motor telah mencapai mulut kampung. Ada rasa lega di hati Fatimah .
“Lalu kita kemana Tim?” tanya Fajar nampak wajahnya mulai dibaluti debu tipis.
“Terus saja masuk ke halaman sana,” jawab Fatimah sambil mengarahkan telunjuknya ke rumah gedek di pinggir pantai.
Dengan trampil Fajar membelokkan kendaraannya, tepat di halaman rumah Bruddin.
“Assalamualaikum,” sapa Fatimah lantang. Sementara Fajar mengikuti Fatimah dari belakang.
“Waalaikumsalam,” jawab Bruddin tanpa ekspresi.
“Maaf Pak Bruddin, saya mengganggu,” ucap Fatimah agak rikuh.
“Oh…, tidak nak…, silahkan duduk!” Bruddin tergopoh-gopoh mempersilakan mereka duduk di lencak.
“Kenalkan pak, ini kakak saya,” Fatimah memperkenalkan kakaknya.
Fajar segara mengulurkan tangan untuk menyalami Bruddin.
Ada yang aneh dalam rumah itu. Fatimah mencoba mencari jawab. Matanya berputar menyapu seluruh ruangan. “Tidak ada yang berubah. Masih saja seperti dulu. Tapi megapa terasa begitu sepi? Kemana gadis kecil yang dahulu lincah dan penuh cita-cita itu?” batin Fatimah mengembara kedalam waktu beberapa lalu, menelusuri jejak-jejak yang dilewatinya bersama Merlena.
“Ah…, Pak Bruddin, kedatangan ke sini hanyalah untuk bersilaturrahmi,” kata Fatimah berbasa-basi.
“Terimakasih nak,” ucap Bruddin kaku. “Nak Fatimah begitu memperhatikan kami,” tambahnya haru.
“Bukan begitu Pak Bruddin. Sudah kewajiban kami sebagai umat muslim untuk saling mengunjungi. Seperti yang terungkap dalam sabda Nabi bahwa memperbanyak tali silaturrahmi, akan memperpanjang umur kita,” timpal Fajar seraya tersenyum lepas.
Dengan perkembangan pembicaraan tersebut, akhirnya riwayat kecelakaan Bruddin tempo hari menjadi bahan pembicaraannya yang serius. Bahkan Fajar dan Fatimah akan membantu pengobatannya, asal Bruddin mau di bawa ke Rumah sakit kota. Tetapi dengan tegas Bruddin menolak tawaran itu. Kedua remaja pun tak berani memaksakan kehendak.
“Sekarang saya sudah merasa sembuh nak,” ujar Bruddin. “Tinggal rasa sesak yang kadang-kadang timbul,” lanjutnya.
Sejauh ini Fatimah belum berani bertanya, di mana Merlena berada. “Hari ini hari Minggu. Jadi tidak mungkin Merlena pergi sekolah. Mungkin dia bermain di pantai. Tetapi sejak tadi kok belum tampak pulang? Kemana sih?”, pikir Fatimah.
“Ehm…, Dik Merlena ke mana Pak?” tanya Fatimah sampai batas keingintahuannya.
Mendengar pertanyaan itu, wajah Bruddin seketika menjadi keruh. Ada guratan duka pada wajah itu. Matanya menerawang jauh seakan ingin menembus ruang dan waktu. Fatimah seakan penasaran di buatnya.
“Ke pantai?,” tanyanya lagi penasaran.
Namun Bruddin belum memberikan jawaban lagi. Bahkan matanya mulai nampak sayu menyimpan sejuta rahasia. Pikiran Bruddin kembali pada pembicaraan dengan Fatimah tempo hari.
“Anak ini memiliki kelebihan pak,” kata Fatimah waktu itu. “Bakat dan kemampuan yang dimilikinya, perlu terus dipupuk. Dan yang penting, jangan keburu dikawinkan.”
Terngiang-ngiang kembali ucapan Fatimah waktu penelitian tempo hari. Kata-kata itu bagai godam menghantam dada Bruddin. Karena waktu itu ia berjanji pada Fatimah untuk tidak segera mengawainkan Merlena. Tapi semua itu terjadi begitu saja. Bruddin sebagai nelaya kecil yang selalu menggantungkan harapan pada bantuan Haji Mastur tak mampu menolak pinangan itu.
Sebenarnya Bruddin sadar bahwa anaknya masih hijau dan terlalu muda untuk berumah tangga. Dia juga tahu bahwa anaknya punya cita-cita mulia. Dia sebenarnya juga ingin memenuhi semua harapan-harapan anaknya. Tapi apa daya, semua itu diluar kemampuannya. Tak mungkin dia bisa memenuhi harapan semua cita-cita Merlena. Sedih hati Bruddin mendengarnya. Hatinya diliputi rasa berdosa, karena tak bisa membahagiakan anak satu-satunya itu. Sejak kecil. Merlena sudah di bawanya dalam penderitaan. Sejak kecil tidak merasakan belaian kasih sayang seorang ibu. Sementara dia sebagai bapaknya, tidak mampu memberikan kebanggaan bagi dirinya.
Yah, siapa tahu dengan menikahkan Merlena dengan anak terpandang, ia akan menjadi bahagia. Karena Bruddin tahu sendiri tidak sedikit gadis-gadis remaja yang mempercantik diri agar diambil menantu Haji Mastur Banyak pula orang tua yang mencoba mengambil hati orang kaya dan terpandang di kampungnya agar dijadikan besan. Maka Bruddin yang tidak masuk hitungan, tidak mampu menolak anugerah yang diberikan oleh Haji Mastur
“Hemm,” desah Bruddin seolah mengeluarkan bongkahan batu dari dadanya. “Nak Fatimah, Merlena sudah menikah. Dan kini dia di pantai untuk bekerja,” jawab Bruddin lirih.
“Ah, perkawinan, perceraian, begitu mudah dilakukan. Padahal bagi saya perkawinan adalah perbuatan yang paling sakral dari perjalannan hidup manusia. Begitu kecilkah arti perkawinan bagi masyarakat kampung Lebak ini?” keluh Fatimah memprotes keadaan yang terjadi pada sahabat kecilnya. Merlena.