Fatimah sadar. Bahwa tradisi kawin muda sudah begitu mengakar pada hati nurani masyarakat Madura. Tapi hati Fatimah begitu pedih mengingatnya. Mengapa kejadian ini harus terjadi pada Merlena? Dia masih terlalu muda untuk menikah. Belum puas hatinya untuk bermain-main, dan menghabiskan masa kanak-kanaknya. Gadis sekecil itu sudah menjadi ibu rumah tangga, dan harus memikul beban yang begitu sarat. Fatimah bergidik, hatinya begitu ngeri membayangkan semua itu.
Butir-butir mutiara bening bergulir dipipih Fatimah. Pemandangan itu membuat dada Bruddin sesak. Biarpun tiada kata yang terucap, tapi Bruddin tahu persis galau hati Fatimah. Bruddin menahan sekuat perasaan agar hatinya tidak terbawa arus kesedihan Fatimah.
Suasana kaku itu mendadak menjadi cair dengan kehadiran gadis lusuh yang lelah. Pipi yang dulu montok, kini nampak cekung dan dipenuhi butir-butir keringat. Kulit tubuh yang dulu berwarna sawo matang, kini bertambah legam terkena sengatan matahari.
Gadis itu tampak ragu-ragu ketika akan memasuki rumah Bruddin. Yah, dialah Merlena, yang beberapa waktu lalu membacakan puisi “Aku” di hadapan Fatimah. Siapa sangka bocah sekecil itu sudah menjadi Nyonya Kamil.
“Kak Fatimah…!” sapa Merlena memecah kesunyian.
Fatimah terhenyak. Serta merta dipeluknya gadis mungil di hadapannya itu. Di dekapnya erat-erat tubuh kurus itu, seakan tak ingin dilepasnya lagi. Tangis yang tadi tertahan kini tumpah menjadi sebuah keharuan yang dalam. Ada perih di hati Fatimah. Dia sibuk menghapus air mata yang terus mengalir seakan tak terbedung lagi.
Dengan lugunya Merlena menatap wajah Fatmah yang lebam oleh tangis. “Kapan datang Kak?” tanya Merlena.
“Sidah tadi,” jawab Fatimah singkat.”Kenalkan itu kakak saya,” tambahnya.
Uluran tangan Merlena disambut hangat oleh Fajar. Keharuan Fatimah menjalar pada diri Fajar. Dia ingin memberontak dan memprotes keadaan ini. Tapi kepada siapa. Yang dia tahu, bahwa keadan ini harus diubah. Sebagai generasi muda, Fajar merasa punya kewajiban untuk mengubahnya. “Yach…, bila saya punya kesempatan nanti,” janji Fajar dalam hati.
“Mana suamimu Lena?” tanya Fatimah kemudian.
“Ke kota,” kata Merlena sambil terus menatap wajah Fatimah yang tengah mengaduk-aduk isi tasnya. Sebuah bungkusan diambil dari tas itu, kemudian diserahkan pada Merlena.
“Bukalah! Itu sekedar hadiah dari kakak,” ujar Fatimah.
“Terima kasih kak,” kata Merlena sambil menyambut bungkusan itu. Pelan-pelan dibukanya bungkusan itu. Sebuah boneka yang cantik tergelar dihadapannya. Hatinya terlonjak. Sudah lama dia menginginkan boneka yang cantik seperti itu, dan baru kali inilah dia mendapatkannya. Di rengkuhnya boneka itu, ditimangnya, kemudian diciumi dengan riang.
Fatimah tercenung melihat Marlena yang benar-benar masih kanak.
“Wow sebuah boneka. Bagus sekali! Terima kasih Kak,” serunya sambil terus menimang-nimang bonekanya.
Kembali hati Fatimah teriris-iris. Kegembiraan dihadapanya adalah gambaran kepolosan seorang anak. Apa mungkin anak yang masih suka main boneka menjadi ibu rumahtangga? “Kegembiraan seorang anak,” batin Fatimah. Tapi bagaimanapun juga Fatimah puas telah memberikan kebahagiaan pada sahabat kecilnya. Kerinduan seorang adik sedikit terobati, dengan kehadiran Merlena dalam hidupnya. (*)