Mendengar pertanyaan itu, pikiran Bruddin merasa tersudut. Ia agak kesulitan menanggapi pertanyaan tersebut. Dahinya berkerut, pertanda bahwa dia sedang berfikir keras untuk mencari jawaban. Bruddin menerawang jauh, seakan ingin melupakan keadaan yang sebenarnya. Suatu perjalanan panjang yang harus dilaluinya di masa lalu.
“Atau mungkin bapak mempunyai penghasilan lain selain melaut?”, suara Fatimah tiba-tiba memecah alam pikiran Bruddin.
Bruddin menggeleng. “dicukupi orang lain,”jawabnya lirih.
“Maksud bapak, sebagai anak asuh?”, Fatimah melanjutkan pertanyaan.
“Begitulah,” jawab Bruddin pasrah.
“Baik sekali. Dengan demikian, kesempatan putri bapak untuk mengenyam pendidikan dapat terlaksana,” ujar Fatimah.
Ketika Fatimah akan mengajukan pertanyaan berikutnya, dikejauhan tampak sekelompok anak-anak berbondong-bondong seraya menyanyikan koor lagu “Maju Tak Gentar”, dengan diiringi tepuk tangan meriah. Tiba-tiba Fatimah merasa haru dan bangga melihat antusias mereka melantunkan lagu kebangsaan, meskipun dalam kalimat-kalimat kurang sempurna. Dengan serentak Bruddin, Fatimah, serta dua orang rekannya, mengalihkan perhatian pada gerak-gerik mereka. Anak-anak itu bagai sekelompok prajurit kecil yang baru pulang dari medan perang.
Keharuan Fatimah makin menjadi-jadi, betapa mereka merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya, meski dalam kondisi yang terbatas dan memprihatinkan. Tapi semangat mereka untuk maju nampak jelas dari raut wajah mereka, paling tidak untuk menentukan nasib mereka pada masa yang akan datang.
“Itu anak saya,” ujar Bruddin seraya menunjuk anak perempuan dengan seragam sekolah yang warnanya hampir pudar. Marlena bergegas. Dia heran melihat beberapa orang kota berada di rumahnya yang kumuh. Kulit Marlena nampak semakin legam terbakar matahari.
“Lena, ayo kenalkan pada kakak-kakak ini,” perintah Bruddin.
Mereka menyalami tamu-tamunya dengan mencium tangan mereka. Jantung Fatimah berdegup, terasa ada arus dingin mengalir melalui pori-pori tangan mungil itu. Kelebihan anak ini nampak, tidak seperti anak lainnya yang ia lihat di kampung ini. Ada sesuatu yang tersembunyi di balik keluguan anak ini. Ia tatap dalam-dalam wajah Marlena. Marlena keheranan sekaligus bangga dapat berkenalan dengan orang kota. Hal ini suatu kehormatan bagi Marlena.
“Namanya siapa?” Tanya Fatimah ramah.
“Lena. Marlena, Kak.” Jawabnya malu-malu.
“Sekolah kelas berapa?”
“Dua,”. Marlena menjawab sambil tersenyum-senyum.
Suasana akrab mulai terjalin antara Marlena dan Fatimah. Sementara dua rekannya melanjutkan perbincangan dengan Bruddin, Fatimah asik ngobrol dengan Marlena. Diam-diam dalam hati siswi SMA itu timbul rasa kagum pada gadis kecil didepannya itu. Dia cerdas dan supel. Tidak canggung menghadapi orang yang baru dikenalnya. Bahkan tanpa diminta Marlena berceloteh berbagai hal yang dialaminya.
“Dalam perayaan tujuhbelasan ini Lena ikut lomba cerdas cermat dan lomba baca puisi,” oceh Marlena bangga.
“Waw…bagus itu,” Fatimah memuji dengan tulus. “Lalu…, yang mengajari baca puisi siapa?”
“Bu Parmi,” jawab Marlena singkat. Kemudian Marlena mengambil kertas lusuh dalam tas plastik yang ditentengnya. Dia mundur beberapa langkah. Kakinya tegak, matanya menatap lurus pada kertas dihadapannya, kemudian menoleh kea rah Fatimah yang sudah duduk di lencak bersama ayahnya. Dengan lantang Marlena membacakan puisi “Aku” karya Cairil Anwar.
“Dan aku akan lebih tidak peduli. Aku mau hidup seribu tahun lagi,” Marlena mengakhiri puisinya, kalimat terakhir ini bergema diruangan yang sempit. Ada getar aneh yang tak dimengerti oleh Fatimah. Tetapi dia benar-benar terkesan dengan gadis kecil yang papa itu.
Matahari tegak diatas kepala. Marlena merasa lapar dan segera menuju ke dapur. Sementara Fatimah dan kedua rekannya bersiap-siap kembali kekota.
“Pak…., besok malam Lena akan tampil di pendopo kecamatan. Dalam acara itu nanti akan hadir para pejabat. Ayah nonton ya…?” ucap Marlena manja.
Esoknya, Marlena bersama rekan dan gurunya sudah duduk di depan panggung hiburan di pendopo kecamatan. Mereka sengaja datang lebih awal, karena jarak antara kampung Lebak dengan pendopo agak jauh. Sedang satu-satunya alat transportasi yang tersedia hanyalah sepeda.
Mata Marlena yang indah, tak bosan-bosannya mengagumi pemandangan yang terhampar dihadapannya. Lampu-lampu neon terpasang disana-sini. Panggung yang ditata apik dengan bergagai dekorasinya, membuat suasana menjadi meriah. Belum lagi sederet penjual soto babat, kucur, serta berbagai jualan makanan lainnya, siap meludeskan isi dompet orang-orang berduit. Suara anak-anak kota kecamatan yang bersenda gurau dan berkejaran tak luput dari perhatian Marlena. Semua itu merupakan pengalaman baru yang seumur hidupnya tak akan pernah ia lupakan.
Ketika pembawa acara telah berdiri di depan mice, semua perhatian ditujukan ke atas pangung. Setelah acara sambutan dari bapak Camat serta sambutan yang lain usai, maka masuklah acara hiburan. Tampil pertama kali adalah tari muwang sangkal yang merupakan tarian penghormatan yang biasa digelar untuk meyambut tamu-tamu agung.
“Acara selanjutnya adalah pembacaan puisi yang akan dibawakan oleh adik kami Marlena, sang juara dari SDN Lebak. Tepuk tangan untuk adik Marlena,” sang pembawa acara mempersilakan Marlena naik panggung.
Ketika melangkah menuju panggung, kaki Marlena terasa berat, jantungnya berdegup keras. Matanya sempat menatap deretan kursi paling depan. Disitu tampak bapak Camat bersama istri, dan pejabat-pejabat kematan dan desa lainnya. Sementara diluar pendopo, pengunjung tampak menyebut dan ramai sekali.
Marlena menarik nafas panjang. “anggap saja semua itu sebagai benda mati,” batin Marlena sebagaimana disarankan pembinanya. Sambil menghembuskan nafas dalam-dalam. Marlena segera mengambil sikap untuk membacakan puisi Chairil Anwar yang sudah mendarah-mendaging dalam ingatannya. “Aku” buah karya Chairil Anwar “//kalau sampai waktuku/aku mau tak seorang kan merayu/tidak juga kau//tak perlu sedu sedan itu//aku ini binatang jalang/dari kumpulan yang terbuang//biar peluru menembus kulitku/aku tetap meradang menerjang//luka dan bias kubawa berlari/berlari//hingga hilang pedih perih//dan aku akan lebih tidak peduli/aku mau hidup seribu tahun lagi//”
Tepuk tangan menggema di seluruh arah ketika Marlena usai membawakan puisinya. Angan Marlena melambung, seperti putri cinderela bertemu sang pangeran. Tubuhnya lunglai namun ada rasa bangga dan puas menyelimuti hatinya. Dua tetes air matanya bergulir di pipinya yang montok. Sampai di tempat duduknya kembali, dia sudah tak dapat membendung keharuannya. (*)
Bersambung episode empat: Marlena; Mimpi Buruk