Marlena, Perjalan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk buku, , dan diterbitkan Penerbit Bening Pustaka, tahun 2019, ISBN 9-786237-104049
Episode Tujuh
Setelah enam bulan dari perjalanan perkawinan Kamil dan Marlena, ternyata tidak membuahkan hasil yang diharapkan oleh Bruddin dan keluarga Haji Mastur. Sejak awal sebenarnya telah dirasakan adanya ketidak cocokkan kedua anak itu, bahkan sejak kedua anak itu duduk di pelaminan.
Marlena sadar bahwa setelah menjadi ratu semalam dengan serentang gemerlapan perayaan gajatan perkawinan, untuk berikutnya dia harus mengubah dirinya dengan status istri. Padahal semula yang dijanjikan bahwa setelah perhelatan selesai. Marlena boleh pulang ke rumah orang tuanya. Tetapi kenyataan yang dihadapi sungguh diluar dugaan.
Marlena yang setiap malam terbiasa tidur dengan Bruddin, kini harus tidur dengan orang asing yang kini disebut sebagai suami. Marlena sangat takut hingga tubuhnya menggigil. Sementara Kamil dengan buas menyergap gadis cilik yang ketakutan itu. Bagi Marlena, malam itu pengalaman malam yang paling mengerikan selama hidupnya. Bahkan untuk menangispun Marlena tak mampu.
Adapun latar belakang perkawinan ini sebenarnya bagi Kamil merupakan aib. Karena Kamil, anak dusun yang disekolahkan di kota dengan harapan bisa mereih sukses, ternyata terbawa arus modernisasi kota. Parahnya, Kamil tidak bisa mengantisipasi keadaan itu sehingga dia terseret dalam kumparan hitam kenakalan remaja. Alkohol, judi, dan serangkaian kenakalan remaja lainnya telah menjadi sahabatnya.
Haji Mastur yang mendapat laporan dari sekolah bahwa Kamil terlibat tindak kriminal, segera menjemput Kamil untuk dibawa pulang. Setelah itu Kamil diberi ultimatum bahwa dia harus dikawinkan. Karena menurut Haji Mastur hanya itulah jalan satu-satunya untuk mengobati kenakalan Kamil. Dengan berumah tangga, diharapkan Kamil mempunyai tanggung jawab terhadap istrinya.
Tetapi setelah perkawinan terlaksana, nyatanya pikiran Kamil belum juga terbuka. Sementara Marlena yang masih hijau tidak mampu menyesuaikan dirinya sebagai istri sekaligus ibu rumah tangga. Percekcokan demi percekcokan terus terjadi. Buntutnya Marlena pulang ke rumah Bruddin dan tak mau kembali lagi. Justru keadaan ini semakin memperburuk suasana, karena Haji Mastur dan keluarganya berdiri di belakang Kamil dan siap memberikan pembelaan.
“Bruddin, anakmu memang tidak tahu diuntung,” seru Haji Mastur melabrak keluarga Bruddin. “Dia belum apa-apa sudah mau seenaknya sendiri. Coba pikir, siapa yang mau memperhatikan kehidupanmu. Aku telah memenuhi segala permintaanmu. Dan tidak keberatan membantumu. Tapi kau sendiri tidak lebih dari seonggok daging rapuh yang tidak mengerti arti kebaikan oang lain.”. Suara Haji Mastur melanjutkan makiannya.
“Aku biayai sekolah anakmu. Bahkan tak sesen pun aku mengharap bantuan untuk perkawinan anak kita. Ini karena aku memandang agar kamu dapat membuka hati, bahwa anak butuh hidup secara layak, butuh makan, butuh pakaian, butuh perhiasan,” ceracau Haji Mastur.
Bruddin berusaha menutup telinganya rapat-rapat, namun suara itu masih terus terngiang-ngiang di telinganya. Bahkan sampai malam tiba, gelombang suara itu juga tak mau berlalu dari pendengarannya. Dadanya terasa sesak, nafasnya tersengal-sengal, matanya merah dipenuhi air mata. Sementara Marlena tersimpuh disampingnya, sambil sesekali memandangi wajah ayahnya dalam piosisi dikalahkan.
“Maafkan Lena, Ayah,” serunya tak kuat menahan haru.
Bruddin menatap lekat wajah anaknya. Rasanya dia ingin marah, namun kemarahan itu ditelan kembali. Bruddin memang orang sabar, sebab hidup mengasahnya untuk bersabar.
“Sabarlah nak, Allah Maha Tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diri kita.”, bujuk Bruddin. “Dalam hal ini, ayahlah yang bersalah. Ayah terlalu gegabah menerima perjodohanmu. Tetapi ayah tak mungkin menolaknya, karena kita terlalu besar punya hutang budi padanya,” kata Bruddin dengan suara gemetar.
Ada rasa sesal dihati Marlena. Karena dia merasa telah membuat ayahnya menjadi cercaan orang lain.
“Lena tak sanggup ayah. Kak Kamil selalu marah-marah. Kadang lena dipukuli,” suara Marlena lirih, selirih sedu-sedan yang dithannya.
Kerongkongan Bruddin terasa tersumbat, hingga tak mampu lagi melontarkan suara. Keluhan-keluhan yang sering dilontarkan Marlena terasa bagai duri yang menusuk-nusuk ulu hatinya.
Tanpa memberikan status yang pasti untuk Marlena, keluarga Haji Mastur telah memutuskan hubungan dengan Bruddin. Dengan kondisi ini Marlena terpuruk dalam jurang penderitaan yang tak bertepi. Janda bukan, tapi sudah tidak diurusi lagi oleh suaminya. Sementara kondisi Bruddin yang semakin lemah, memaksa Marlena untuk bekerja keras dipantai. Gadis sederhana itu semakin tampak kurus. Tulang pipinya menonjol, matanya cekung kurang tidur, serta kulitnya yang menghitam lantaran sengatan matahari tampak kehilangan keceriaannya.
Bruddin semakin merana melihat kondisi anaknya seperti itu. Namun dia tak berdaya untuk mengubah nasib yang telah menimpanya. Tubuh Bruddin tinggal kulit pembalut tulang. Batuknya makin hari makin merajalela. Bahkan akhir-akhir ini dia sudah sering batuk darah. Tapi Bruddin tak berani mengungkapkan pada Marlena. Dia tak ingin anaknya semakin menderita karena mengetahui penyakitnya.
Pulang dari pantai, seperti biasa Marlena langsung berseru memanggil ayahnya. Tetapi kali ini panggilan Marlena tak mendapat sambutan. Tanpa curiga Marlena langsung masuk ke bilik rumah. Didapati ayahnya sedang tidur terlentang di lencak. Tetapi Marlena heran, karena di sekitar lencak terdapat ceceran darah hitam. Pelan-pelan di dekati tubuh ayahnya. Matanya terbelalak ketika menyaksikan sumber darah itu dari mulut ayahnya.
“Ayah muntah darah,” batin Marlena sambil mengusap wajah ayahnya. Wajah pucat itu terasa dingin ketika tangan Marlena menyentuhnya. Marlena mencoba membangunkan ayahnya dengan menguncang-guncang tubuhnya.
“Ayah, ayah…, bangun, ini Lena sudah datang,” ujarnya sedikit gugup.
Tetapi tubuh kurus itu sudah tak bergeming. Diguncangnya dengan keras, tapi tetap saja tak bergerak. Tubuh itu telah kaku.
“Ayah…!” jerit Marlena disertai ratap tangis yang memilukan hati.
“Innalillahi wainna ilaihu rojiun,” guman para tetangga yang sempat mendengar jeritan Marlena dan bergegas menuju rumah Bruddin.
“Kasihan Lena, Dia sudah tidak punya siapa-siapa,” guman tetangga yang lain.
Awan hitam memayungi Kampung Lebak. Nelayan yang baik itu telah menghadap Sang Pencipta. Lengkap sudah penderitaan yang dialami oleh Marlena si gadis yatim piatu.
Berita kematian Bruddin segera tersebar di seluruh desa. Berita itu juga terdengar sampai di telinga keluarga Pak Toha. Fatimah sangat terpukul mendengar berita itu. Baginya Marlena sudah merupakan bagian dari hidupnya. Sehingga penderitaan Marlena yang jauh di Kampung Lebak, dapat dia rasakan.
“Ayah, alangkah baiknya bila kita mengambil alih tanggungjawab Pak Bruddin terhadap anaknya,” usul Fatimah pada ayahnya.
“Betul ayah, kasihan anak itu. Ia kini yatim piatu,” dukung Fajar.
“Aku mengerti. Tapi…,” kata Pak Toha sambil melirik istri tercintanya.