Marlena, Perjalan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk buku, , dan diterbitkan Penerbit Bening Pustaka, tahun 2019, ISBN 9-786237-104049
Episode Empat
Perjalanan hidup manusia sebenarnya seumpama roda, setiap kali putaran, akan mendapatkan posisi yang berbeda. Dan bila kondisi roda tersebut kurang layak untuk melandas ditempat pijakannya, maka tak ayal, pada gilirannya nanti manusia akan mengalami kegoncangan jiwa. Kecuali bagi manusia yang sadar, sebagaimana firman Allah dalam al-Quran, “Dan, orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. [Al-Baqarah : 177]
Demikian juga putaran roda kehidupan Bruddin, justru selama ini ia selalu berpijak pada posisi di bawah, sehingga gerak geriknya selalu dibayangi oleh ketidakmenentuan. Setiap langkahnya dan sering menimbulkan masalah dan tanda tanya. Meski demikian, Bruddin masih berusaha bersikap sabar dan tawakal.
Nyalang mata Bruddin masih menatap jauh, ketika ayam berkokok menyambut fajar. Sementara Marlena yang pulas disampingnya tidak mampu lagi diajak berdialog, yang terdengar hanya dengkur lirih dengan nafas teratur. Bruddin tertegun. Dipandanginya wajah Marlena yang pulas. Nampak seraut wajah yang lembut dan lugu, seakan tidak mengerti makna kehidupan yang sebenarnya.
Namun di pihak Marlena, ada kehidupan lain yang berlanjut. Hal ini tentu tidak terlihat dan dirasakan oleh Bruddin.
“Ternyata kau telah besar dan cantik nak…!, bahagia aku melihatmu,” terdengar suara wanita menyapa lembut pada Marlena. Marlena tersentak kaget, tubuhnya gemetar dan keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
“Si…, siapa kau?” tegur Marlena dalam keterkejutannya.
Wanita itu tersenyum dan berucap, “aku ibumu nak.”
“Kamu bohong! Aku tidak punya ibu. Ibuku telah meninggal dunia,” sentak Marlena.
“Tidak! Aku tidak percaya. Ibu telah tiada,” Marlena kebingungan. Sebenarnya Marlena ingin berontak, namun tiba-tiba tubuhnya terbelenggu olah sejuta lilitan. Maka Marlena hanya mampu diam, bahkan kerongkongannya pun serasa terkunci. Lunglailah tubuh Marlena, dan tak mampu menggerakkan sendi-sendinya.
Wanita itu merapat ketubuh Marlena, dengan tiba-tiba tangannya meraih kepala Marlena, kemudian membelai-belai seakan sebuah magnet yang menyentuh aliran darahnya. Hati Marlena luluh. Pasrah!
“Bagaimana keadaan ayahmu ak?”, tanya wanita itu.
“Baik-baik saja,” jawab Marlena ringan. “tapi sebenarnya siapa ibu?”. Tanyanya kemudian.
“Aku ibumu. Apakah ayahmu tidak pernah cerita?”, tanyanya lagi.
“Ya, ayah pernah cerita. Kata ayah, ibuku cantik, baik hati dan setia kepada ayah. Tapi, katanya ibuku meninggal ketika melahirkan aku,” jawab Marlena dengan polos.
Wanita itu merunduk, ada sesuatu yang mengganjal dihatinya, ia ingin melontarkan keadaan yang sebenarnya, namun setiap kali suaranya akan keluar, bibirnya selalu terkatup rapat. “benar kata ayahmu, ibumu sangat mencintainya, juga mencintaimu,” kata wanita itu lirih.
Marlena semakin heran. “ibukukah wanita ini”, batin Marlena penuh tanda tanya.
“Apakah ayahmu pernah meyebut nama Suleha?”, tanya wanita itu lagi.
“Pernah, kata ayah itu nama ibuku,” jawab Marlena spontan.
“Aku suleha nak. Aku ibumu,” kata wanita itu meyakinkan Marlena.
Mendengar pengakuan itu, Marlena tersentak kaget. Ia pandangi wajah wanita itu. Terasa sejuk menyentuh jiwa. Lama sekali ia mengharapkan perjumpaan seperti ini. Tangan mungilnya segera terulur menyambut wanita yang diyakini sebagai ibunya. “Maafkan Lena, Bu,” seru Marlena sambil memeluk tubuh ibunya sambil menangis.
“Sudahlah jangan menangis, karena tangis tidak akan menyelesaikan permasalahan yang kau hadapi,” hibur ibunya seraya membimbing ke sebuah batu yang menghampar. Lalu keduanya duduk berdampingan.
“Anakku percayalah bahwa sebenarnya ibu sangat sayang padamu dan ayahmu,” kata wanita itu kemudian.
Marlena mengangguk.
“Terimakasih, nak,” sahutnya puas. “Sebenarnya maksud ibu menemuimu, ada sesuatu yang ibu harap darimu, nak,”. Ia diam sejenak. “Pada suatu hari nanti, aku ingin berkumpul kembali dengan ayahmu. Maksud ibu, sudah saatnya bila kami bersatu kembali. Apa kamu tidak keberatan?” tannyanya pada Marlena.
“Kenapa harus keberatan, Bu. Itupun Lena kira akan jadi lebih baik,” spontan Marlena memberi dukungan.
“Terima kasih, nak. Ini semua demi kebaikan ayahmu,” kata Suleha.
Marlena sangat bahagia, ketika membayangkan dirinya akan bersatu kembalidengan ibu dan ayahnya. Namun tiba-tiba asap melintas dihadapannya, membuat pandangannya menjadi kabur. Dan ketika matanya nyalang kembali, ibunya telah lenyap dari hadapannya. Ia meraba-raba sekitarnya, tetapi tangannya memang tidak menyentuh apa-apa.
“Ibu…, ibu…, dimana kau, ibu…!” teriak Marlena sambil terus meraba-raba. “Ibu…, Ibu…, aku ikut…!” teriaknya semakin keras. Namun suaranya hilang dan tak terdengar. Marlena menjadi ketakutan dan terus menjerit ketakutan. Tangannya menggapai-gapai ke udara.
Bruddin yang siap-siap untuk sholat tersentak kaget mendengar jeritan Marlena. Ketika tiba di pembaringan Marlena, nampak tubuh Marlena menggelinjang-gelinjang seraya mengigau menyebut nama ibunya. Tubuh Marlena diguncang-guncang. “Istigfar, istigfar Nak…,” bisik Bruddin sambil membantu Marlena duduk. Beberapa saat kemudian Marlena sadar bahwa ia baru bermimpi ketemu ibunya. Ia menyesal, kenapa pertemuan itu muncul dalam mimpi yang menakutkan.
“Lena mimpi ketemu ibu, Ayah, ” ucap Marlena.
“Kau, mimpi ibumu nak,” kata Bruddin haru. Bruddin berharap mimpi itu tidk berakibat buruk bagi Marlena.
Namun nyatanya justru Bruddin yang merasa terganggu oleh mimpi Marlena. Ketika Bruddin berada di tengah laut dengan sampannya, pikirannya masih dihantui oleh mimpi Marlena, hingga tak terasa sampannya sudah jauh dari pantai. Degup jantungnya tidak stabil, membuat lemparan jala Bruddin tak mampu meraih jangkauan yang diharapkan. Dan tanpa diduga ,tiba-tiba tangan Bruddin kesemutan. Namun ia paksakan juga untuk melempar jalanyanya kuat-kuat. Pada saat yang bersamaan datang ombak besar menampar buritan sampan. Sampan oleng, Bruddin kehilangan kendali dan kakinya terpeleset ke laut. Jatuh.
Dalam keadaan seperti itu, Bruddin masih berusaha meraih bibir sampan. Tapi malang, ombak yang menghampirinya tak kenal kompromi, akhirnya ombakpun menghantam badan sampan hingga tertelungkup. Bruddin tak kehilangan akal, dengan sisa tenaganya yang masih ada, Bruddin berusaha menaiki punggung sampan dalam posisi telungkup. Ia biarkan sampan dan dirinya dihalau arus, hingga akhirnya menepi ke bibir pantai.