Marlena, Perjalan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk buku,
Episode Sepuluh
Cinta seorang wanita dapat diumpamakan sebagai panah yang lepas dari busurnya. Panah itu akan melesat, dan biala mengena mengenai sasaran, maka disitulah tempat labuhan hatinya.
Demikian pula yang terjadi pada diri Marlena. Panah cintanya telah dilepaskan dan melesat tepat di hati Taufik, sehingga ia tidak mampu lagi berbuat apa-apa, kecuali rasa puas. Sebagai seorang yang mendambakan tancapan panah yang beracun asmara itu, Taufik pun tidak mampu mengelak kecuali menerima dengan busung dada, seakan tinggal pilih dari sudut mana yang bakal jadi sasaran.
Beda ketika Marlena harus tunduk di hadapan Kamil, delapan tahun yang lalu. Cinta yang tercipta dari kondisi lingkungannya, ternyata harus lebur bersama mimpi-mimpinya. Mimpi yang menggariskan nasib seorang wanita, yang kini terbawa arus kesia-siaan dan penyesalan, yang hampir mengubah hidup Marlena dalam trauma yang panjang.
Dan kini, sesaat berhadapan dengan hati Taufik, seakan Marlena telah menemukan jejak kakinya yang telah sekian waktu dilahap oleh bayangannya sendiri. Cinta Marlena untuk Taufik adalah cinta gelora masa muda yang selalu mendebur setiap tarikan nafasnya.
Untuk itu, keduanya tidak ragu-ragu lagi bila bersama-sama membongkar himpitan hatinya yang mungkin merupakan jalan terbaik bagi Marlena maupun Taufik.
“Aku takut bila suatu ketika kau menyesal, tentang siapa diriku sebenarnya,” ungkap Marlena pada saat keduanya menimang senda di pantai Lombang pada waktu-waktu sebelumnya.
“Rasa sesal itu pekerjaan yang sia-sia Len,” kata Taufik.
“Bisa saja terjadi. Banyak laki-laki pada awalnya mengumbar mimpi-mimpi indah kepada kekasihnya, namun setelah mereka puas dan tahu siapa sebenarnya wanita yang dicumbui, lalu pergi begitu saja”.
“Itu kan rabaanmu saja. Apakah sikapku selama ini punya tanda-tanda seperti mereka?”
“Ya, tidak begitu. Tapi kenyataan ini bakal terjadi.”
“Tentang dirimu, maksudmu?”
“Yah, mungkin.”
“Tidak perlu mungkin, justru sekarang ini telah menjadi kenyataan.”
“Maksudmu. Aku?”
“Ya, kenapa tidak?”
“Kau tahu siapa aku?”
“Ya, kenapa tidak. Kau adalah putri seorang pensiun pejabat Kantor Wedana yang ….”
“Wah, bukan itu maksudku.”
“Sebentar, itu yang pertama,” kata Taufik seraya mempermainkan hati Marlena. Marlena bertanya-tanya.
“Kemudian yang kedua, kau cantik, baik hati dan …..”
“Itu ngaco namanya. Aku ini bicara serius Fik,” seru Fatimah tersipu.
“Baik. Yang ketiga, kau bukan anak kandung Pak Toha. Benar nggak?” jelas Taufik.
“Kau tahu?” Marlena heran.
“Ya, tahu. Aku ini kan punya indera yang memiliki jangkauan telepati,” gurau Taufik.
“Kemudian, yang keempat. Sebenarnya, orang tuamu nelayan yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sedang kau sendiri lahir di sana,” ungkap selanjutnya.
“Fik, kau tahu itu?” Marlena semakin heran. Ia seakan ditelanjangi di hadapan kekasihnya itu. Meski demikian, hal itu bagi Marlena merupakan satu kesempatan untuk menguji kadar cinta Taufik yang sebenarnya.
“Yang lain?”
“Yang lain, aku serahkan padamu sajalah,” lempar Taufik tanpa menunjukkan sikap sesal.
Ucapan terakhir itu terasa menukik kedalam relung hatinya yang paling dalam. Taufik terasa mengasah kembali ingatannya yang telah disembunyikan sekian lama. Luka-luka yang telah merapat itu seperti terasa dikuliti kembali.
Dan luka-luka itu ternyata saat ini menganga kembali, justru yang menguakkan Taufik sendiri. Luka baru itu serasa mengiris-iris hatinya. Ia seakan diterbangkan kembali ke alam masa lalu yang kini hanya tinggal puing-puing saja. Tanpa terasa tetes air mata Marlena melengkapi merah wajahnya. Marlena menyesal dan sedih.
“Maaf, Len,” ujar Taufik segera. “Sebenarnya aku tak bermaksud membongkar rahasiamu. Percayalah, semua ini aku lakukan semata-mata untuk menguatkan keyakinanku bahwa sebenarnya kita dilahirkan dalam keadaan yang sama,”.
“Maksudmu?,”. Marlena terhenyak
Ucapan Taufik sempat merangsang insting Marlena untuk bertanya. Tapi apa yang patut ditanyakan tentang dia. Di hadapannya, Taufik tak ubahnya seperti nyanyian ombak yang mengantarkan dirinya ke kedalaman laut biru
“Aku tidak mengerti maksudmu Fik?”
“Yah! Aku katakan bahwa sebenarnya kita ini dilahirkan dengan fitroh yang sama. Suci, bersih. Permasalahan berikutnya tergantung pada diri kita sendiri,” jelas Taufik. “Banyak orang salah tafsir tentang makna kehidupan yang sebenarnya. Apa yang dicari dalam hidup ini? Kadang manusia lupa, hidup dikira sekedar menjalankan sisa umur tanpa diimbangi oleh tanggungjawab yang digariskan oleh pencipta-Nya.”
“Wah, aku jadi bingung. Cobalah jangan mengarah ke ungkapan filsafat,” sela Marlena tertarik.
“Ini bukan filsafat, tapi kenyataan. Sebagaimana yang difirmankan Allah SWT dalam Al Qur’an. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, kecuali kaum itu mengubahnya sendiri.”
“Aku mengerti itu Fik. Tapi apa hubungannya dengan diri kita?”
“Sangat erat sekali, karena berkaitan dengan latar belakang yang sama,” jelas Taufik. “Hanya bedanya, kamu tercipta dari lingkungan tradisi yang kolot, namun penuh aroma agama. Sedangkan aku, justru sebaliknya.”
“Yang kau maksud?”
“Jelasnya. Sebenarnya aku terlahir dari keluarga kaya di Banyuwangi. Tapi ternyata kekayaan itu tidak membawa ketenangan batin. Tapi justru memporak-porandakan kehidupan rumah tangga kami, sehingga kehidupan kami tak ubahnya panggung sandiwara semata. Setelah layar diturunkan, panggung ditutup, kami bukan lagi siapa-siapa”
“Orang tuamu?”
“Yah, keduanya bercerai. Ibu kawin dengan seorang pejaka, yang sebelumnya telah menjalin hubungan gelap. Sedang ayahku, entah di mana sekarang. Menurut kabar, kini ayahku berada di Malaysia menjadi TKI gelap. Sedang kedua kakakku, yang laki-laki berada di Jakarta, seorang seniman. Yang perempuan masih berada di Banyuwangi bersama nenek,” ungkap Taufik dengan nada kesal. “Kau tahu, kenapa aku berada di kota ini?” Ini berkat mu’jizat yang diturunkan Allah melalui tangan suci Pak Anwar,” jelasnya kemudian.
“Jadi kau bukan putera Pak Anwar?”
Taufik menggeleng.
“Oh.” Hanya itu kata yang terucap di bibir Marlena.