Hari masih pagi, ketika Marlena tiba di sekolah. Hanya beberapa orang saja yang tampak di tempat itu. Di antaranya, Pak Tahir, tukang kebun sekolah, sedang asyik menyapu halaman tanpa mempedulikan debu-debu yang beterbangan di sekitarnya. Sedang Bu Darmi, penjaga kantin, juga sibuk mempersiapkan dan menata jualannya yang kebanyakan menerima titipan dari orang luar. Selebihnya hanya beberapa anak saja duduk di teras kelas sambil membaca.
Setelah menyandarkan sepeda genjotnya, Marlena bergegas menuju kantin Bu Darmi.
“Korkitnya masak, Bu?” seru Marlena di pintu masuk kantin. Korkit adalah kue yang dibuat dari ketela pohong, ditumbuk halus kemudian dibentuk seperti kepalan kecil lalu digoreng. Dan korkit ini merupakan kue jajan masyarakat Sumenep yang sangat nikmat bila dimakan waktu hangat dan dicolekkan pada sambal.
“Wah, masak mbèng,” sahut Bu Darmi. Mbèng (embèng) adalah sebutan kepada anak-anak perempuan Madura, dari kata cebhing. Sedang untuk laki-laki disebut Encung, dari kata kachong (Jawa: Cak-Ning).
“Pagi benar tiba,” tambah Bu Darmi.
“Sambil lalu cari udara segar Bu.”
“Wah, kalau begitu di rumah tidak punya udara segar.”
“Bukan begitu Bu Darmi. Udara pagi di tempat terbuka kata Pak Jono sangat baik untuk kesehatan tubuh, karena saat pagi seperti ini udara masih bersih dan belum tersentuh polisi…….eh polusi,” timpal Marlena bergurau. Pak Jono adalah guru Olah Raga dan Kesehatan di sekolahnya.
Mendengar gurauan itu, Bu Darmi yang usianya lebih setengah abad itu terkekeh-kekeh.
“Sejak kecil ibu tahu, kalau udara pagi itu menyehatkan tubuh,” kilah Bu Darmi. “Karena belum tersentuh apa mbeng?”, tambahnya perempuan setengah baya agak latah
“Polisi,” sahut Marlena.
“Eh, kok polisi. Polisi itu yang di jalan-jalan mbeng.”
Marlena tertawa.
“Polusi bu.”
“Yaitu, maksud ibu.”
“Polusi itu apa bu?” pancing Marlena.
“Ya itu, polusi. Artinya mana ibu tahu,” kata Bu Darmi seraya mengangkat pundaknya.
“Polusi itu kotoran yang mengambang di udara.”
“Oo….., seperti debu-debu itu ya,” kata Bu Darmi seraya menunjuk ke arah tempat Pak Tahir yang sedang menyapu.
“Ya, itu antara lain. Tapi mana korkitnya?”
“Oh, iya ya, sampai lupa ibu.” Bu Darmi segera mengambilkan beberapa potong di atas piring dan menyodorkan pada Marlena.
Belum sempat menikmati hidangan itu, tiba-tiba Pak Jamil muncul di ambang pintu.
“Wah, sarapan pagi Len?” tanya Pak Jamil, guru matematika yang punya hati pada Marlena itu.
“Oh Pak Jamil. Mari silakan Pak.”
“Terima kasih Len.”
“Tumben, pagi benar tiba.”
“Saya selalu pagi Pak tiba di sekolah.”
“Ya, maksudku tidak seperti biasanya.”
“Kebetulan saja, Pak, urusan di rumah telah selesai lebih awal.”
“Bagaimana keadaan Pak Toha?” alih Pak Jamil.
“Baik-baik saja Pak.”
“Aku dengar beliau mendapat penghargaan dari pemerintah.”
“Benar Pak. Itu penghargaan atas keberhasilannya mengelola Panti Asuhan Yatim Piatu.”
“Memang rasa sosialnya cukup tinggi. Di sini pun sebagai ketua BP3(sekarang Komite Sekolah), mampu menjembatani keadaan sekolah dan siswa, sehingga tidak sampai terjadi permasalahan-permasalahan dan kesenjangan antara sekolah dan wali murid,” komentar Pak Jamil.
Marlena tidak segera menyahut, karena dilihatnya di ambang pintu pagar, Taufik memasuki halaman. Marlena menduga, Taufik akan langsung menuju kantin Bu Darmi, sebagaimana yang kerap kali dilakukan pagi-pagi sebelumnya. Dugaan itu ternyata tidak meleset. Dengan langkah pasti dan hanya beberapa saat saja Taufik telah muncul di kantin.
“Selamat pagi Pak Jono,” sapa Taufik lebih dahulu.
“Pagi Fik.” sahut Pak Jamil tanpa reaksi.
Terasa terjadi benturan kecil dari tatapan dua wajah itu. Marlena yang berada dalam jarak hanya satu setengah meter, nampak jelas kedua wajah itu menyimpan rahasia dan tanda tanya.
“Pagi Len,” kemudian pada Marlena.
“Ayo, kita nikmati korkit Fik,” ajak Marlena.
“Terima kasih,” sahut Taufik kaku. “Maaf, aku ada keperluan di kelas. Saya pergi dulu Pak.” Kemudian Taufik berlalu.
Melihat keganjilan itu, Marlena curiga. Sebab pada saat yang bersamaan dan di tempat yang sama pula, Pak Jamil berada di warung Bu Darmi. Padahal sebagaimana janji sebelumnya, Marlena akan datang lebih awal di sekolah, untuk menyampaikan sesuatu sebagaimana yang dipesan dalam suratnya, yang dititipkan pada Narti.
Melihat kenyataan itu, Marlena timbul tanda tanya, hingga akibatnya ia jadi salah tingkah. Sementara Pak Jamil sendiri tampak tidak memperhatikan reaksi yang timbul pada diri Marlena. Bahkan ia seakan bersikap acuh tak acuh terhadap keadaan sekitarnya.
“Lo, mana Upik?” tanya Bu Darmi muncul dari dalam. Panggilan Upik terhadap Taufik, merupakan sebutan kepada nama seseorang yang disingkat bagi orang Madura. Seperti nama Hasan, kerap dipanggil Encang, Arifin dipanggil Emping, dan sebagainya.
Pertanyaan Bu Darmi tidak segera dijawab oleh Marlena. Karena Marlena masih diliputi beberapa pertanyaan terhadap dirinya sendiri. “Sepicik itukah pikiran Taufik,” batin Marlena. Karena tidak segera terjawab, Bu Darmi mengulangi pertanyaannya. Baru kemudian, Marlena tersadar namun sebelumnya Pak Jamil telah menyahut.
“Paling-paling ngambek bu.” Ucapan itu ternyata memancing reaksi Marlena. Dan akibatnya, wajah yang kuning langsat itu menjadi pias seakan dirinya ditelanjangi di depan Bu Darmi. Marlena tertunduk, sedih.
“Laki-laki kok ngambek. Habis Lena ndak bilang kalau memesan kue,” Bu Darmi khawatir.
“Tidak Bu. Dia tidak bilang apa-apa,” ujar Marlena.
“Karena saya ada di sini Bu Dar,” timpal Pak Jamil.
Marlena tersinggung, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali…
“Benar Bu. Pak Jamil sih, kenapa pagi-pagi sudah berada di sini. Makanya segera cari istri kan setiap pagi tidak usah repot-repot, semuanya disediakan oleh istri. Benar kan Bu?”
“Ya benar. Yang namanya suami itu pasti akan dilayani dengan baik oleh si istri. Tapi tentu istri yang baik.”
“Ya itulah Bu, cari istri yang baik itu sangat sulit sekali,” tanggap Pak Jamil.
“Memang sulit. Sebab istri yang baik merupakan modal kebahagiaan rumah tanggan,” sahut Marlena. Mendengar kalimat itu hati Pak Jamil terkesiap, seakan diperciki air sejuk yang keluar dari mulut Marlena. Justru kalimat itu pula yang merangsang perasaan Pak Jamil untuk mendengarkan kalimat-kalimat selanjutnya.
“Itu kata orang lo Pak, saya sendiri mana tahu, belum pernah merasakan kok.”
Pak Jamil maklum, tapi di balik itu, ia yakin bahwa pada saatnya nanti bila Marlena bersuami pasti akan menjadi istri yang mengerti tentang bagaimana hidup berumah tangga yang baik.