Pak Jamil mengangguk-angguk.
“Bagaimana pendapat Bapak?” lontar Marlena.
Pak Jamil berfikir. “Sebagaimana hadits Nabi, untuk memilih istri itu ada empat perkara, ialah karena wajah, harta, keturunan, dan agama. Yang paling baik tentu Bapak memilih karena agamanya. Dan kalau bisa, ya kesemuanya.”
“Itu namanya rakus, Pak.”
“Rakus kalau menjadi kebaikan ya tidak apa-apa.”
Ketiganya tertawa terbahak-bahak, dan saat itu pula Marlena sempat terhibur oleh suasana yang suka cita.
“Habis, gaji guru tidak akan cukup memenuhi istri-istri jaman sekarang ini.”
“Memangnya Pak Jamil suka istri yang pesolek ya,” timpal Bu Darmi.
“Ya, tidak juga Bu. Bila dibandingkan seperti Marlena inilah, saya kira cocok,” seloroh Pak Jamil.
Marlena yang jadi sasaran jadi terharu. Keharuan ini lantaran Marlena tahu betul, bahwa guru yang satu ini punya hati terhadap dirinya. Namun semuanya terlambat, dan tidak mungkin terjadi, sebab Marlena secuil pun tidak merasa getaran cinta di hatinya. Kalau pun ada, itupun hanya terbatas rasa simpati saja.
Dialog itu ternyata harus berhenti, ketika bel tanda masuk sekolah berdentang dari sudut kantor TU. Tak lama kemudian keduanya bergegas menuju ruang masing-masing.
“Fik, kenapa tadi pagi kau bersikap seperti itu?” tanya Marlena sepulang dari sekolah.
Taufik tidak menyahut. Wajah Taufik nampak kesal dan serius.
“Fik, ayo jawab, kenapa kau berbuat seperti itu?” ulah Marlena.
“Pura-pura tidak tahu,” jawab Taufik seenaknya.
“Maksudmu itu bagaimana Fik?”
“Apakah perlu aku jelaskan lagi.”
“Ya perlu.”
“Aku kira kenyataan telah menjawabnya.”
“Kenyataan yang bagaimana?”
“Di kantin itu.”
“Tentang kehadiran Pak Jamil,” ujar Marlena heran.
Taufik diam. Ia telah melangkahkan kakinya menuju sepeda motornya yang diparkir.
“Fik, cobalah berpengertian sedikit.”
Taufik menghentikan langkahnya.
“Len, suratmu masih ada di sakuku ini. Dan aku tidak keberatan mendengar sesuatu darimu yang menurutmu sangat penting.”
“Yah, aku tahu itu. Memang sesuatu yang kumaksud demi kebaikan hubungan kita.”
“Apa kau kira hubungan kita selama ini tersendat-sendat. Atau mungkin kau sengaja memancing suasana, agar tadi pagi aku merasa ditantang dan bersaing dengan Pak Jamil.”
“Fik.” Marlena setengah menjerit. “Ucapanmu melantur Fik.”
“Yah, karena aku punya bukti kuat.”
Usaha Marlena untuk memperjelas peristiwa di kantin Bu Darmi, ternyata ditafsirkan yang kurang baik. Hal ini tentu sangat memukul batin Marlena. Meski demikian, Marlena masih mencoba sabar, agar kekasihnya mau mengerti keadaan dirinya. Ternyata Taufik yang tahan menantang kehidupannya itu, pada siang itu harus luluh pada situasi yang sangat memprihatinkan. “Atau mungkin, semua ini hanya ulah Taufik saja, agar aku tidak sampai larut dalam hatinya.” batin Marlena.
Marlena bukanlah Marlena yang terlahir dari terpaan dan keganasan jaman, bila dirinya harus pasrah tunduk menghadapi peristiwa kecil ini. Sebab baginya peristiwa di kantin tadi pagi, tak lebih dari ujian dan cobaan agar ia lebih berhati-hati dalam menghadapi karakter manusia. Lain masalah cinta, ia tumpahkan dengan setulus hati meskipun pada saat tertentu ia harus kalah menantang gelora hatinya.
Sesampai di sepeda motornya, Taufik segera menstater kemudian melesat dengan raung yang memekakkan telinga. Ia meninggalkan Marlena sendiri, dengan seribu pertanyaan dan penyesalannya. Namun Marlena yakin, suatu saat Taufik pun akan menyesal atas sikapnya sendiri.
Matahari makin terik, hingga suhu udara bak bara yang memanggang kulit manusia. Marlena segera berlalu menggenjot sepedanya pulang. (*)