Marlena, Perjalanan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk buku,
Episode Srmbilan Belas
“Tidak apa-apa nak. Itu sudah takdir gusti Allah.”
“Lalu yang dua dimana nek?”
Wanita itu tidak segera menyahut, dan tiba-tiba di wajahnya nampak kabut mulai menggerayangi wajah kerut itu. Melihat perubahan wajah itu, Marlena jadi salah tingkah, ia merasa menyesal telah membuka kembali tabir kenangan hati orang tua itu. Nenek itu menggeleng-geleng.
“Maaf Nek, biarlah tidak usah nenek jawab pertanyaan saya tadi,” ungkap Marlena dengan segera.
“Anak siapa?” nenek itu bertanya dengan minat sungguh.
“Nama saya Marlena. Saya …..”
“Len, ayo dong,” ajak Lastri kesal. “Kita ke sini ini bukan untuk bersedih-sedih. Kalau ingin bersedih-sedih dengan nenek semacam itu, nanti aku tunjukkan tempatnya. Tinggal kau pilih, macam apa saja akan dapat kau temui,” suara Lastri agak jengkel.
“Kenapa tidak bisa sabar sih,” sahut Marlena seenaknya. “Sebentar saja.”
“Sabar, sebentar, apa di sini ini tempat ruang tunggu,” sahut Lastri makin kesal. Marlena tidak memperdulikan, bahkan wajahnya beralih kearah nenek tua itu. Melihat sikap Marlena itu, akhirnya Lastri mengalah juga. Ia tahu betul watak temannya itu. Di kalangan mahasiswa ia dikenal sebagai wanita yang mampu mempertahankan prinsip, tapi tidak egois. Bahkan Marlena tidak akan menyerah dalam satu perang tanding di forum, bila tanpa bukti-bukti jelas yang mengacu permasalahan.
Pernah suatu ketika Marlena terpilih sebagai sekretaris panitia pergelaran seni. Sebagai sekretaris, tentu memerlukan keterampilan tersendiri sesuai dengan fungsinya. Bahkan sekretaris harus mampu berkorban demi kelangsungan dan kesuksesan acara yang dirancang. Korban waktu, perasaan atau materi. Demikian pula hal-hal yang menyangkut teknis operasional, Marlena kerap diajak bersama oleh sang ketua. Baik dalam pendekatan administrative maupun hubungannya dengan tugas-tugas keluar. Ini suatu hal yang wajar.
Tapi ternyata kesepakatan tersebut diartikan lain oleh sang ketua, yaitu seorang mahasiswa yang tentu memiliki kelebihan tersendiri. Ternyata dibalik tugasnya tersebut, Agus Salim, sang ketua selalu berbaik hati dengan harapan berhasil pula mengeruk hati Marlena yang paling dalam. Pada awalnya Marlena tidak merasakan maksud baik temannya itu, namun ia baru sadar ketika Agus menumpahkan maksudnya.
“Jangan, Gus, persahabatan kita jangan diartikan yang lain,” harap Marlena ketika Agus menumpahkan maksudnya.
“Boleh kau katakan apa saja, bila kau merasa tersinggung oleh penolakanku ini. Ini sudah prinsipku, aku tidak akan bermain cinta sebelum cita-cita berhasil.”
Alasan Marlena tersebut, akhirnya Agus harus menyerah menghadapi kenyataan, walau sebenarnya ia masih selalu berharap keterbukaan Marlena menerima harapannya.
Jadi, kalaupun Marlena saat ini menolak ajakan Lastri meninggalkan nenek tua itu. Itupun merupakan salah satu wujud prinsip yang dipegang Marlena.
“Saya dari Madura Nek. Sumenep,” lanjut Marlena seolah tanpa terjadi apa-apa.
“Oh, jauh sekali nak. Nenek cuma dari Pelabuhan Kamal,” aku nenek.
“Dekat ya, kalau begitu nenek sering pulang.”
“Pulang?” jawab wanita itu seakan bertanya pada dirinya sendiri. “Nenek ndak punya rumah. Suami nenek dulu nelayan. Tapi setelah suami nenek kawin lagi di Banjar (Banjarmasin), maka keadaan di rumah tidak terbina lagi. Anak-anak semua cari hidup sendiri. Entah di mana mereka sekarang,” ungkap nenek seraya membayangkan masa silamnya.
Marlena hanya mampu merasakan betapa nenek tua ini yang hidup lontang lantung, memburu dan diburu oleh ketidak pastian hidup dalam buasnya kota besar, sehingga nampak seperti sebutir debu yang diombang-ambing oleh riak gelombang hiruk pikuknya kota.
Setelah pertemuannya dengan nenek tua itu, pikiran dan kenangan masa lalunya, tiba-tiba muncul seketika. Terasa ada sebersit bayangan melintas-lintas setiap kali ia mengenang kegelisahan hati nenek tua itu. Bayangan luka yang kadang menghantui setiap kali Marlena memandang laut lepas. Dalam keburuannya seakan bermunculan wajah-wajah muram. Wajah kakeknya, pamannya, ibunya, ayahnya dan wajah para nelayan kampung Lebak yang kerap terjebak oleh buasnya gelombang lautan.
“Begitukah perlawanan orang Madura menghadapi kenyataan?” batin Marlena.
“Tidak. Madura bukan lambang kegersangan. Madura bukan terbentuknya wajah-wajah luka. Madura adalah seonggok pulau yang memiliki kemampuan untuk menantang jaman,” sanggah hatinya yang lain
Ia banyak melihat, meski orang Madura tidak berjuang di laut, di Surabaya ini banyak terdapat muka-muka dan karakter Madura berjuang melawan nasib di setiap sudut kota, di pasar-pasar atau dimanapun mereka berpijak meski kadang bagai ikan-ikan yang bergelimpangan yang terlepas dari kail nelayan.
Marlena baru sadar, bahwa dirinya adalah bagian dari ikan-ikan yang bergelimpangan itu, yang juga sedang berjuang melawan kenyataan hidup di kota Surabaya. Surabaya baginya, merupakan harapan terakhir untuk menuntaskan harkat dan martabat wanita Madura yang kian waktu, kian dituntut keberadaannya untuk menyemarakkan kelangsungan Madura sebagai pulau yang berjaya.
Seharian berkeliling di bagian sudut Surabaya ini, memang sangat melelahkan. Ia rebahkan tubuhnya di tempat kost yang disewa bersama Lastri dengan sepuas-puasnya. Dan kini satu episode telah ia temukan bagian terkecil dari kehidupan manusia yang tertinggal oleh perjalanan panjang perempuan Madura.
“Len aku heran. Tampaknya kau antusias sekali ingin tahu setiap karakter dan nasib seseorang,” tanya Lastri yang juga sedang melepas lelah di tempat sebelahnya.
Marlena tidak segera menyahut, tapi wajahnya seakan melontarkan pertanyaan lain terhadap teman se kostnya itu.
“Itulah hidup Las,” jawab Marlena ringan tapi tegas. “Kalau kita mau jujur, bahwa sebagian besar masyarakat kita ini adalah golongan kaum yang lemah atau dilemahkan oleh jaman. Coba kau perhatikan setiap kali kau menatap di sudut-sudut kota ini, akan tampak di matamu wajah-wajah orang yang lemah. Aku salut akan perjuangan mereka. Mereka tidak mau kalah melawan kenyataan jaman seperti sekarang ini,” ungkap Marlena penuh antusias.
“Tapi kenyataan itu, telah merupakan garis nasib yang diturunkan Tuhan,” sorong Lastri.
“Yah, aku mengerti semua itu. Yang kita perhatikan selama ini yang tampak hanya di wajah mereka. Tapi coba kau tebak, apa yang sebenarnya terjadi di balik itu?”
“Lho, mana aku tahu?”
“Nah, itulah. Kenapa aku selalu tertarik bila melihat kenyataan semacam itu untuk diungkap di otak kita.”
“Jadi maksudmu. Setiap pergulatan hidup ini, tentu mempunyai latar belakang tersendiri.”
“Antara lain demikian.”
“Lalu yang lain?”
“Seperti nenek pengemis tadi. Setelah ia cerita, ternyata pada awalnya dari keluarga cukup dan bahagia. Namun pada saat tertentu ia harus menyerah dalam kenyataan yang menyakitkan,” jelas Marlena penuh haru.