Marlena;  Penemuan Dunia Baru

Ungkapan itu disampaikan kepada Lastri seakan dirinya terlibat langsung dalam satu peristiwa yang sama. Ia maklum dan merasakan, betapa dalam sendiri setelah mereguk suatu kehidupan yang penuh bahagia itu, merupakan suatu isyarat, bahwa manusia itu sebenarnya tak lebih dari tepisan mimpi yang dikelola dalam kehidupan nyata. Sebagai contoh yang paling gamblang, ialah dirinya sendiri. Ia berangkat dari sendiri dalam suasana berbeda. Namun setelah Pak Toha mengangkatnya jadi manusia seperti sekarang ini, justru kesendirian itu sekarang mulai memburu kehidupan Pak Toha.

Ya, Pak Toha, ayah angkatnya sekaligus ayah kandungnya itu, kini sedang menenun benang-benang nasib tanpa mengharap penghargaan dari anak-anaknya. Ia bahagia dalam kesendiriannya, walau sebenarnya hatinya mulai digenangi oleh air-air kenangan yang mengalir dalam sepi. Gemericik air itu terasa sekali di hati Marlena, yang saat ini pula sedang meluapkan kenangan bersama kisi-kisi hari.

“Jadi setelah itu, menurutku kau akan lebih tepat bila mengambil fakultas ekonomi. Tapi kenapa kau mengambil sastra?”, banding Lastri yang diriya mengambil jurusan ekonomi.

Mendengar ucapan temannya itu, Marlena lalu tersenyum, seakan sodoran temannya itu bagai lelucon bagi anak-anak kecil saja.

“Baiklah aku ceritakan,” timpal Marlena, kemudian duduk di bibir tempat tidurnya. “Kenapa aku memilih jurusan sastra? Ada dua maksud yang perlu aku sampaikan. Yang pertama kau kan tahu sendiri, bila aku selama ini banyak menulis tentang sastra. Itu sudah jelas, bila akhirnya akan meningkatkan wawasanku dalam dunia sastra. Kemudian yang kedua alternatif yang aku ambil, sebenarnya sastra yang berhubungan erat dengan kehidupan masyarakat. Dalam satu sisi, sastra sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat, sementara sisi yang lain, masyarakat akan berpengaruh terhadap kehadiran cipta sastra.

“Jelas,” tawar Marlena seakan memaksa Lastri untuk menanggapi. Namun, ternyata Lastri tidak begitu antusias, bila menanggapi sepenuhnya ungkapan temannya itu, karena ia tahu sendiri, bila ia harus berdiskusi dengan si harimau betina forum itu seperti memasukkan diri ke sarang harimau, di samping pengetahuan Lastri tentang sastra hanya sebatas ujung jari saja. Tapi bila berbincang tentang ekonomi, mungkin tawaran Marlena akan dilayani.

Malam mulai dibalut kabut. Meski demikian di kota yang panas ini masih terasa hembusan angin dingin yang menerobos kamar dari kisi-kisi ventilasi. Hanya beberapa saat kemudian, tak seorangpun melontarkan suara. Hanya gerak nafas dalam irama  dengkur seakan melantunkan lagu mimpi kedua gadis itu. Bahkan ketika para peronda mengelilingi kampung, keempat telinga yang sedang nikmat mimpi itu, tak mendengar sama sekali bunyi kentongan yang ditabuh nyaring sekitar sepuluh meter dari tubuh mereka. Keduanya betul-betul lelap.

Keesokan paginya, seperti hari-hari sebelumnya, Marlena menampakkan wajah segar. Seakan perjalanan malam dilalui begitu saja. Sama sekali ia tak ingin mengingat, mimpi apa yang terjadi semalam. Ia sama sekali tidak ingin diusik oleh mimpi. Bahkan meski mimpi  baik pun. Dan Marlena lebih tertarik menikmati pancaran sinar matahari pagi yang memancar di sela-sela daun kemuning, seakan mengisyaratkan berita kemenangan bagi seorang wanita Marlena yang telah menundukkan malam. Bahkan kalau mungkin, ingin rasanya, pagi-pagi seperti ini tidak segera berlalu dari hadapannya. Tapi yang diharap Marlena tentu bukanlah harapan yang disampaikan layaknya harapan terhadap makhluk sesamanya. Matahari bukanlah sebuah benda yang menancap di ujung ranting kemuning, tapi akan menggelinding mengikuti arus waktu dan rotasinya.

Gelinding matahari itu akhirnya sampai juga di dekapan jam yang menetapkan angka delapan. Marlena baru tersadar, bila dirinya harus segera sampai di kampus. Namun sesaat kakinya meninggalkan lantai rumah, seorang petugas talah menyedorkan sebuah telegram. “Terima kasih, Pak,” ucap Marlena tergesa-gesa.

Dengan tergesa-gesa pula ia buka amplop telegram di tangannya. Kalimat yang terdiri beberapa baris saja itu, ternyata mampu merubah air muka Marlena ke dalam suasana lain. Lastri yang juga siap berangkat ke tempat belajarnya, tiba-tiba merasa heran melihat perubahan air muka temannya itu.

“Ada apa Len,” tanya Lastri masih heran.

Marlena tidak segera menyahut, di matanya nampak genangan kecil membeku. “Aku hari ini akan pulang,” jawabnya.

“Pulang?” Lastri heran. “Ada apa Len, kenapa?”

“Ayah sakit,” jawab Marlena seraya menunjukkan lembaran telegram di tangannya.

“Oh, jadi?”

“Aku harus pulang hari ini juga.”

“Kenapa tidak besok saja. Katanya ada pertemuan senat?”

Marlena menggeleng. “Aku tidak mungkin konsentrasi.”

“Lalu.”

“Yah, sampaikan saja pada teman-teman, bila hari ini aku tidak bisa mengikuti pertemuan.”

Lastri mengangguk. Temannya itu juga merasakan, betapa berita yang ia terima itu, merupakan berita yang selama ini ditakutkan Marlena. Berita itu merupakan ancaman bagi Marlena sebagai ujian menghadapi kemungkinan yang akan datang. Marlena sebenarnya masih belum siap menghadapi semua itu, selama hasil harapannya belum dapat dipersembahkan kepada ayahnya. Tapi ia berharap agar yang terjadi kali ini, tidak lebih dari lemparan batu kecil yang mengenai tubuhnya.

Ombak selat Madura tidak begitu gencar menampar dinding-dinding kapal. Seakan kapal ferry “Pottre Konѐng” yang ditumpanginya bagai ayunan lentur dalam buaian angin laut. Dan sianr matahari makin tampak membias kehangatannya, meskipun beberapa saat lagi matahari akan luruh memasuki siang.

Marlena yang duduk di kursi bagian samping ferry, matanya semakin tajam memperhatikan hilir mudik pearhun dan kapal-kapal yang siap berlabuh, maupun saat turun jangkar. Beberapa camar sempat berkelebat, seakan memapaskan pesan duka kepada salah seorang penumpang kapal laut itu dengan cicit panjang merisaukan.

Dalam degup jantung yang belum juga reda, sejak keberangkatannya dari tempat kost, mata Marlena mencoba menembus celah hijau kelabu kearah gundukan di depannya. Gundukan itu yang telah membentuk satu gugusan pulau yang kemudian merebah, menjadi sebuah tonggak pusaka bagi kehidupan dan latar belakang nasib Marlena.

“Madura, sebenarnya wajahmu anggun dan tegar, namun belum kau sadari, bahwa di balik tubuhmu banyak terdapat hati-hati luka dan merana,” kata hati Marlena seakan menyiratkan ungkapan puitis sang penyair.

“Potre Koneng” masih berayun lembut dan kadang berontak ketika ombak kecil lewat. Sementara fikiran Marlena menerawang jauh ke arah ujung timur pulau Madura. “Ayah, semoga tidak apa-apa,” seru hati Marlena, lalu diambilnya lembaran telegram yang masih tersimpan di dalam tasnya. Ia buka kembali telegram itu, seakan ia ingin meyakinkan bahwa ayah angkatnya kini hanyalah terjangkit penyakit yang tidak akan mengakibatkan fatal bagi dirinya.

Ia membayangkan, kalaupun nanti Pak Toha harus mengikuti jejak istrinya maka lengkaplah kesendirian Marlena menenun nasib sebagaimana yang pernah dialami pada masa kanak-kanaknya dulu. Ia masih ingat ketika kemarin sempat ia temui wajah-wajah dalam kesendirian di sudut jalan Tunjungan. Yah, wanita tua renta itu, yang pada akhirnya harus menyerah pada nasib buruk dari gemerincingnya keceriaan sanak keluarga. Ia harus kalah menantang nasib, lalu terdampar di sudut kota Surabaya.

Surabaya ternyata baginya merupakan harapan satu-satunya untuk menuntaskan sisa hidup, meski terlunta-lunta.

“Benarkah di Surabaya akan kutemui jejak hidup untuk masa mendatang?” pikir Marlena ragu. Pikiran itu segera ia bunuh cepat-cepat, sesaat sekelumit suara meraup pikirannya yang lain. Ia lalu ingat pula seonggok wajah luka, wajah ayah kandungnya sendiri. Bruddin yang selalu berharap pada suatu ketika kelak nanti, ia harus mampu mengubah nasib dirinya lebih berarti dari nasib-nasib yang pernah ia kubur di sepanjang pesisir pantai tempat kelahirannya.

Mengingat itu semua, tangan Marlena jadi gemetar seakan digetar oleh degup jantungnya sendiri.

“Anak kemana?” sebuah suara lembut dari sampingnya. Mendengar kalimat itu tiba-tiba Marlena terhenyak, seakan suara hentakan kecil yang membangunkan lamunannya. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.