Rencana dipertemukannya Marlena dan Ilham telah diatur sedemikian rupa. Namun rencana itu belum sampai terealisir. Ada saja alasan-alasan dan kendala sehingga mengalami kegagalan.
Pernah suatu ketika tatkala Marlena sedang pulang, kesempatan itu akan mendatangkan Ilham. Namun setelah dihubungi lewat surat ternyata Ilham selalu berhalangan karena kesibukan tugasnya. Demikian juga sebaliknya, ketika Ilham berada di rumah, Marlena pun berhalangan karena kesibukan kuliahnya. Masalah yang sebenarnya memang tidak pernah dijelaskan kepada Marlena. Jadi sekian kali direncanakan selalu mengalami kegagalan.
Ayah dan kedua anaknya itu mengakui, bila antara Ilham dan Marlena sama-sama memiliki kesibukan. Sementara Ilham sendiri sebagai seorang karyawan perusahaan dan berperan penting di dalamnya di Malang. Tentu waktunya banyak tersita oleh kesibukan. Mereka maklum, sebagai orang penting, perusahaan akan merasa dirugikan bila Ilham harus sering meninggalkan tempat kerjanya. Apalagi telah dipercayai memegang tampuk jabatan yang merupakan jawaban penentu mati hidupnya perusahaan.
Sedang Marlena sendiri, sebagai mahasiswa yang telah duduk di bangku tingkat semester lima, saat-saat seperti itu merupakan saat penentu hasil atau tidaknya perjuangannya selama memendam diri di kampus. Sebab kampus bagi Marlena merupakan rumah kedua setelah rumahnya sendiri di Madura. Maka dari itu, Marlena tidak akan membiarkan begitu saja meninggalkan kampus kalau memang tidak terpaksa.
Mungkin karena giatnya Marlena terjun di dunia baru itu, bahkan pada saat liburpun sisa waktu-waktunya banyak dimanfaatkan dengan berbagai aktifitas tambahan. Sehingga jatah untuk pulang kadang diatur sedemikian rupa, yang pokok telah melepas rindu terhadap Pak Toha maupun kedua saudara dan keponakannya,
Untuk itulah melihat kenyataan ini, Pak Toha merasa tidak tega mengganggu konsentrasi Marlena. Karena ia sendiri telah mengenal lebih jauh watak anak angkatnya itu bila ia merasa basah lalu mencebur sekalian. Jadi apa pun alasannya, Pak Toha masih gamang menyampaikan maksudnya kepada Marlena.
Pemikiran orang tua itu akhirnya menimbulkan rasa putus asa. Padahal Pak Mahmud telah setengah mendesak agar anak mereka segera dapat dipertemukan. Tapi Pak Toha selalu memberi alasan yang wajar, meskipun dalam hatinya masih terpendam beberapa ribu butir keraguan.
Pernah suatu ketika, tatkala Marlena pulang.
“Bagaimna nak, apa selama ini tidak memikirkan calon suami?” pancing Pak Toha.
Mendengar pertanyaan ayahnya itu Marlena hanya mampu berencana namun tidak mampu melontarkannya.
“Biarlah Yah, urusan suami itu urusan nanti,” sahut Marlena tiba-tiba. “Bila Lena memikir calon suami, kan berarti akan menambah beban kuliahku nantinya.
“Ini hanya pemikiran orang tua saja nak, maksudku siapa tahu kau mempunyai pemikiran ke sana?” duga Pak Toha.
Ucapan Pak Toha itu ternyata menimbulkan reaksi di hati Marlena. Seakan kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut ayahnya, adalah kalimat-kalimat yang menguakkan lembaran lama. Memang kata “suami” bagi Marlena seakan tak ingin terdengar lagi di gendang telinganya. Hal itu, lantaran setiap kata “suami” terlontar, maka ingatannya dikembalikan pada masa-masa lalunya. Sebab dengan kata seperti itu, berarti ia harus bertaruh kembali melawan kebohongan-kebohongan sebagaimana yang pernah ditampakkan oleh Kamil. Katakanlah pada saat Marlena duduk di bangku SMA dulu sempat menjalin tali hubungan cinta dengan Taufik. Itu pun lantaran ia ingin melepaskan rasa nikmatnya pada masa-masa remaja. Tapi setelah duduk di bangku kuliah, pemikiran Marlena akhirnya berubah. Perubahan pemikiran itu, tentu karena ia semakin sadar dan yakin, bahwa menuntut ilmu itu akan sangat terganggu bila harus memikirkan hal-hal yang lain. Akhirnya, Marlena mengambil kesimpulan bahwa pacaran itu bukan suatu jaminan untuk diteruskan ke dalam suatu perkawinan. Itu sudah merupakan keputusan akhir bagi Marlena tentang diri Taufik.
Maka singgungan kalimat yang dilemparkan Pak Toha, akibatnya menimbulkan pertanyaan besar di benak Marlena. Sejauh itu Marlena masih menganggap sebagai kalimat-kalimat wajar yang kerap disampaikan para orang tua kepada anaknya sebagai kalimat harapan.
Dan kalimat harapan itu ternyata menjadi bahan pertanyaan yang selalu dikunyah dalam hati hingga sekembali ke Surabaya.
Namun bagi Pak Toha sendiri, kegagalannya menyampaikan hal yang sebenarnya, justru mengakibatkan dirinya terombang-ambing oleh waktu. Dan waktu pun semakin lama semakin menuntut kenyataan yang ditimbulkan oleh harapan Pak Toha. Itulah salah satu sebab, kenapa pada akhir-akhir ini Pak Toha kadang timbul rasa pusing dan lemah. Ia seakan tidak percaya lagi dengan kenyataan yang dihadapinya. Ia semakin terseok dan tak mampu lagi melanjutkan usahanya, meskipun dalam hati semakin bergelora maksud yang terpendam. Kadang ia merasa khawatir, bila hal ini harus terjadi, akan berakibat fatal dan mengangkat trauma panjang sebagaimana yang pernah dialami Marlena pada saat awal ketika Marlena bersama keluarganya. Itulah, kenapa selama ini Pak Toha sering termenung, namun tidak mampu berbicara pada anak-anaknya. Anggapan Fatimah dan Fajar, pertemuan antara Marlena dan Ilham telah dinyatakan gagal. Hal ini mengingat waktu kunjungan Ilham ke rumah Pak Toha semakin jarang. Kalau datang, itu pun tidak pernah menyinggung masalah Marlena. Tapi di balik hati Pak Toha, justru yang tampak sekarang adalah wajah temannya, Pak Mahmud yang seakan-akan menuntut kenyataan sebagaimana pernah disepakati bersama. Pemikiran itulah akhirnya Pak Toha jatuh sakit.
Bagi Fatimah, penyakit ayahnya dianggap sebagai penyakit sebagaimana penyakit yang pernah diderita beberapa waktu lalu. Sebab seperti yang dikeluhkan ayahnya. Penyakit Pak Toha kambuh lantaran ginjalnya mulai memburuk lagi. Hal ini sebenarnya telah diusahakan ke dokter. Namun hasilnya masih belum dapat gambaran yang menggembirakan. Padahal sebenarnya, penyakit ginjal itu hanyalah sebagai akibat melemahnya daya tahan tubuh Pak Toha, karena terlalu banyak memikirkan Marlena dan tuntutan harapan sahabatnya yang setiap saat selalu menghantuinya.
Penyakit Pak Toha semakin lama ternyata semakin memburuk. Satu-satunya jalan, Pak Toha harus rawat inap di rumah sakit. Saat itulah ketiga anak Pak Toha mulai diselimuti mendung duka. Mendung yang setiap saat akan meneteskan air huja. Hujan air mata.
Marlena tahu, bila ayahnya sakit lebih parah lagi, maka waktu-waktunya banyak digunakan untuk merawat ayahnya. Ia tahu, bila dirinya harus selalau berada di samping ayah angkatnya itu, akan mempengaruhi aktifitas belajarnya. Namun untuk yang satu ini, Marlena berani berkorban, meski apapun yang menjadi akibatnya. Hiasan mimpi yang kerap bergema di jiwanya, kini ia tinggalakan untuk merawat orang tua satu-satunya sebelum ia menyesal kemudian.
“Kembalilah ke tempat kuliahmu nak. Di sini telah ada kakakmu,” harap Pak Toha dengan suara lemah.
“Tidak ayah. Lena akan menunggui ayah sampai sembuh.”
“Ayah tidak apa-apa. Penyakit ayah ini akan sembuh nanti.”
“Dan lagi Lena tidak ada kegiatan penting di kampus,” sanggah Marlena.
Mendengar alasan Marlena itu, Pak Toha tidak memaksa lagi. Karena ia tahu dan maklum. Dalam keadaan seperti ini Pak Toha juga berharap agar anak-anaknya selalu berada di sampingnya.
Harapan untuk segera sembuh ternyata tidak ada tanda-tanda pada diri Pak Toha. Bahkan ia nampak semakin lemah.
“Bagaimana dokter, keadaan ayah?” tanya Fatimah kepada dokter pemeriksa yang didampingi Fatimah dan Marlena. (*)