Marlena, Perjalanan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk buku,
Episode Tujuh Belas
Ketika dua orang muncul dari jok tengah kijang itu, baru kemudian mereka berhamburan menyambut kehadiran gadis yang hampir hilang dalam jeritan tangis suka. Hampir semuanya tidak mampu menahan lelehan air mata setelah tahu ketika Marlena berjalan lemah menuju rumah. Memang adegan malam itu, tak ubahnya seperti jemaah haji yang baru kembali dari tempat suci Mekkah. Penyambutan yang begitu mendadak, membuat diri Marlena semakin terharu. Ia merasakan betapa antusiasnya perhatian mereka terhadap dirinya, padahal bila dikaji dan dibaca dari awal kehidupannya, Marlena tak lebih dari seorang pesakitan yang diburu jaman.
“Ibu…. Ibu….,” itulah jeritan pertama kali yang terlontar dari mulut gadis itu setelah turun dari mobil. Ia hampir tidak mempedulikan orang-orang di depannya, yang juga sebenarnya merasa kehilangan atas kepergian Marlena.
Saat kakinya menginjakkan lantai rumah, yang pertama kali diburu adalah Bu Rasmi. Mendengar suara panggilan iu, Bu Rasmi segera bangkit, seakan ia terhipnotis oleh suasana baru. Bu Rasmi pun segera menyongsong kehadiran anaknya dalam satu pertemuan yang sangat memilukan. Ia seakan tidak mampu lagi melontarkan kalimat syukur yang memenuhi rongga dadanya. Tangis itu, betul-betul menimbulkan pengaruh besar terhadap mereka yang melihat adegan pertemuan Marlena dan Bu Rasmi. Dan akibatnya, mereka ikut trenyuh dan tidak mampu lagi menahan gejolak yang kian mengharukan.
“Oh, nak, kau selamat nak!” seru Bu Rasmi berkali-kali.
“Bu, maafkan Lena, Bu. Maafkan Bu.”
“Jangan kau ucapkan itu nak. Bersyukurlah kau kini telah berkumpul kembali bersama kami.”
Fatimah yang berada di dekatnya, juga tidak mampu menahan gejolak hatinya yang sejak kemaren telah dibenam dalam suasana duka. Hal ini tentu sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan Bu Rasmi, yang ternyata penyakit yang ia derita sejak kepergian Marlena adalah diri Marlena sebagai obatnya.
“Bagaimana kau dik, tidak apa-apa,” tanya Fatimah kemudian.
“Lena, selamat Kak. Tapi hampir saja Lena menjadi korban nafsu Kamil,” ujar Marlena masih sendu.
“Syukurlah, Tuhan masih bersama kita.”
“Tapi seandainya terlambat beberapa jam saja, mungkin kenyataan menjadi lain.”
“Maksudmu?” Fatimah heran dan penasaran.
“Yah, dari perbincangan mereka, aku dengar setelah petang tiba, merencanakan membawaku ke Malaysia.”
“Oh. Aku baru mengerti,” simpul Fatimah. “Jadi maksud penculikan itu, bukan semata-mata karena ingin mengambilmu jadi istri.”
“Memang, ternyata Kamil adalah sindikat yang menjual wanita-wanita ke luar negeri, yang menyamar menjadi tekong.”
“Kejam. Bejat benar manusia seperti itu,” runtuk Fatimah.
“Aku heran, sebagai warga Madura yang terkenal keberaniannya mengarungi lautan, kemampuannya hanya dimanfaatkan mengelabui gadis-gadis yang tidak berdosa. Itulah salah satu contoh keterbelakangan wawasan warga kita.”
“Aku tidak mengerti. Aku benci,” ucap Marlena marah.
“Yah, ini merupakan pelajaran dan pengalaman bagi kita. Untuk masa-masa mendatang, ternyata tanggung jawab kita membekali rakyat kecil, khususnya kaum wanitanya, perlu dibina dengan baik. Apa pun alasannya, korban yang utama bagi mereka, adalah para wanita yang tidak memiliki latar belakang pendidikan yang baik. Sementara engkau sendiri, adalah salah satu korban yang didasarkan rasa dendam,” ujar Fatimah lancar.
“Kemungkinan begitu. Mudah-mudahan dengan tertangkapnya Kamil dan kawan-kawannya, perbuatan seperti itu tidak terjadi lagi di Madura.”
Setelah dua hari larut dalam kebekuan sedih, pada pagi-pagi berikutnya, suasana rumah tangga mulai mencair kembali, seperti cairan sinar matahari pagi yang mulai mengabarkan semangat baru kepada penghuni rumah besar keluarga Pak Toha. Tata kehidupan yang hampir runtuh oleh gesekan peristiwa penculikan Marlena, kini telah berubah menjadi lautan suka, meskipun kadang-kadang masih terasa riak kecil yang menepis kenangan-kenangan pahit yang baru saja dialami oleh Marlena. Meski demikian, penghuni rumah besar itu, yang hanya dimukimi oleh tiga jiwa manusia memiliki arti tersendiri dalam masa kehidupan selanjutnya.
Marlena masih tercenung, ketika pengantar pos mengantarkan surat di hadapannya. Dengan bergegas, Marlena segera menyongsong abdi masyarakat itu dengan penuh harap.
Pengirim surat itu, ternyata dari Taufik. Dengan tergesa Marlena membuka surat di tangannya lalu dengan rasa rindu ia baca baris demi baris. Kalimat-kalimat itu serasa seperti gemericik air yang meruntuh dari tebing-tebing terjal. Ia seakan dilembabi oleh sejuta kesejukan hati dan menyatu dalam satu tangkupan rasa yang sama.
“Dari siapa Len?” tanya Bu Rasmi yang tiba-tiba berada di belakangnya.
“Taufik, Bu,” jawab Marlena singkat.
Mendengar nama itu, Bu Rasmi ternyata tidak menanggapi dengan serius. Hanya di wajahnya tampak sekelumit rasa kurang puas. Namun Bu Rasmi menyadari, meskipun ia kurang berminat mengetahui isi surat itu, namun ia berusaha membilas diri dalam suatu pengertian.
“Bagaimana beritanya Len?” Bu Rasmi ingin tahu.
“Hanya mengabarkan, kalau dia telah sampai di Banyuwangi dengan selamat.”
Bu Rasmi mengangguk.
“Yah, kamu harus menjaga jarak. Perjalanan hidupmu masih jauh ke depan. Bila kau terkecoh oleh permasalahan cinta, akibatnya kau akan rugi sendiri,” ucap Bu Rasmi hati-hati.
“Lena mengerti Bu.”
“Syukurlah. Ibu sampaikan ini demi kelanjutan masa depanmu,” pesan Bu Rasmi. Lalu kapan kau akan mendaftarkan ke IKIP?”
“Insya Allah lusa bu. Kak Darwis dan Kak Timah akan mengantar Lena,” jelas Marlena.
“Itu lebih baik. Biar kakakmu yang mengurus.”