Marlena; Rumah Tangga Pak Toha

Ucapan-ucapan ibunya itu memang selalu mengandung arti yang dalam. Kadang-kadang Marlena merasakan suatu kenikmatan tersendiri, meskipun kadang-kadang pula ucapan itu terasa memberatkan ibunya tinggal sendiri di rumah.

“Jangan pikirkan ibu. Ibu akan baik-baik. Percayalah ibu masih mampu menjaga kesehatan Ibu. Toh kakak-kakakmu akan sering berkunjung ke sini,” begitu jawab Bu Rasmi setiap kali Marlena menyampaikan keberatannya meninggalkan Bu Rasmi.

Sisa-sisa waktunya sebelum meninggalkan Sumenep, kesempatan itu banyak dimanfaatkan oleh Marlena mempersiapkan diri menghadapi UMPTN mendatang. Ia buka kembali lembaran-lembaran buku selama ia duduk di bangku sekolah. Bahkan Marlena tak segan-segan mencari tahu cara memasuki perguruan tinggi kepada teman-temannya yang kebetulan pernah menduduki bangku kuliah di IKIP Surabaya.

Sebagaimana yang ia pernah rancang jauh sebelumnya, tujuan pokok di IKIP Surabaya nanti, akan mengambil Fakultas Bahasa dan Satra. Hal ini memang sangat sesuai dengan kemampuan Marlena yang juga ditunjang oleh guru-guru bahasa dan sastranya, utamanya Pak Jamil, guru akrab, maupun Pak Nurhadi yang selalu mendorong karir Marlena.

Selama itu pula Narti beserta tunangannya, Pak Jamil kerap berkunjung ke rumah Marlena. Biasanya bila kedatangan kedua tamu itu, Pak Toha dan Bu Rasmi juga menyambut dengan hangat, hingga seolah dari kedua belah pihak terjalin satu ikatan keluarga yang sebenarnya tidak ada ikatan sanak family. Hal ini berkat keluwesan Marlena, membina tali persahabatan hingga menjadi persaudaraan.

Begitulah, ringkikan waktu yang tinggal beberapa saat lagi bagi diri Marlena. Di lain kesibukannya, hampir sepenuhnya ia curahkan kepada ibunya. Perhatian yang sangat dalam itu, ternyata menjadikan kedua wanita yang sebenarnya tidak dialiri darah daging yang sama, terangkai suatu ikatan batin antara ayah dan ibu kandung. Meski demikian, Bu Rasmi tidak pernah membedakan status Marlena dengan kedua anak kandungnya. Ketiganya sama rata menerima haknya yang tercurah dari kasih sayang Bu Rasmi.

Fajar dan Fatimah pun menyadari hal itu. Bahkan kedua anak Pak Toha itu bersyukur diberi kesempatan merawat seorang anak nelayan miskin dan papa. Sebenarnya masih ada satu lagi penghuni rumah Pak Toha, ialah Aminah yang diangkat dari panti asuhan yang dikelola Pak Toha. Namun anak yang masih duduk di bangku kelas tiga SD itu, ternyata lebih betah hidup bersama teman-temannya di panti, meskipun kadang-kadang muncul di rumah Pak Toha. Jadi kepastian Aminah hidup bersama keluarga Pak Toha masih belum ada titik terang. Tapi yang jelas selama ini Aminah masih dalam rangka adaptasi. Sedang harapan Pak Toha dan Bu Rasmi, agar nanti setelah keberangkatan Marlena, Aminah mau menetap di rumah besar itu.

Babak baru kehidupan rumah tangga Pak Toha, akhirnya tiba juga. Bayangan sepi yang selama ini dikhawatirkan, secara perlahan-lahan mulai merambat dari waktu ke waktu dan akhirnya menjadi kenyataan yang tak dapat dielak. Itulah rangkaian prosesi perjalanan suasana sepi seakan meringkih dalam kenyataan kehidupan Pak Toha dan Bu Rasmi sehari-hari.

Pak Toha sadar itu semua. Karena kenyataan ini merupakan isyarat yang telah menjadi konsekuensi bagi setiap manusia. Manusia yang pada awalnya berangkat dari sepi dalam asuhan waktu selama sembilan bulan dalam kandungan ibu, kemudian lahir menikmati dunia baru, lalu merangkak, berjalan, berusaha, kawin, beranak dan seterusnya, kemudian kembali lagi dalam sepi. Jadi kalaupun saat ini harus menjalaninya adalah merupakan bagian-bagian kehidupan dari kehidupan kekal yang bakal terjadi kelak di akhir hayat.

Ketika Marlena masih berada diantaranya, segala permasalahan rumah tangga, khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian pekerjaan di dapur, segalanya dapat teratasi dengan bantuan tangan terampil Marlena. Tapi kali ini, Bu Rasmi harus mengatasi segalanya tanpa bantuan siapa pun, meskipun kadangkala Aminah serta anak-anak panti asuhan yang lain turut membantunya.

“Sebaiknya kau cari pembantu saja bu, agar kau tidak terlalu berat mengatasinya,” saran Pak Toha suatu ketika. Tapi Bu Rasmi selalu menolaknya.

“Biarlah Pak, sambil lalu membunuh rasa sepi,” jawab Bu Rasmi selalu.

Bila demikian, Pak Toha tidak memaksakan. Sebab alasan istrinya itu dapat diterima meskipun ia sendiri selalu mengkhawatirkan kesehatannya.

“Nah itu yang tidak benar. Justru bila terlalu banyak diam tak ubahnya seperti menanam bibit penyakit,” ksambung Bu Rasmi.

“Yah terserah kau lah. Selama kau masih mampu menjaga kesehatanmu.”

“Lho, apa kau kira aku ini sakit?” Bu Rasmi agak tersinggung.

“Ya tidak juga. Aku cuma khawatir kok.”

Dalam keadaan seperti itu, untung Fatimah rajin menjenguk kedua orangtuanya, sehingga paling tidak Bu Rasmi terasa terhibur dalam suasana yang lain. Sementara Pak Toha sendiri dalam masa yang seharusnya memuaskan diri menikmati masa pensiunnya, kini justru semakin dibebani tanggung jawab yang lebih berat lagi. Yaitu dengan berkembangnya panti asuhan yang ia kelola merupakan suatu pekerjaan yang sebenarnya cukup berat dalam artian yang sebenarnya.

“Aku berharap sisa hidupku ini tidak terbuang sia-sia,” kata Pak Toha ketika menanggapi pertanyaan teman sejawatnya yang sama-sama menjalani masa pensiun. “Dengan demikian, aku akan lebih puas, bila saatnya nanti aku meninggal tak ada lagi permasalahan-permasalahan dalam hidupku.”

“Suatu harapan yang sulit dimengerti oleh orang-orang jaman sekarang ini,” tanggap temannya.

“Untuk itu, aku prihatin bila membaca keberadaan masyarakat, utamanya yang belum merasakan nikmatnya kemerdekaan yang telah dikobarkan oleh semangat pahlawan kita, ternyata masih terkungkung dalam kondisi memprihatinkan,” jelas Pak Toha. “Seperti contoh yang kerap kita lihat di pelosok-pelosok masih banyak anak-anak yang butuh uluran tangan kita untuk diarahkan pada suatu posisi yang sebenarnya.”

“Dan sementara yang merasa dirinya berkuasa puas berasyik masyuk dengan harta kekayaan mereka,” sambung temannya.

“Ini suatu pertanda bahwa yang digembar-gemborkan untuk menuju masyarakat adil makmur, masih belum terjangkau sebagaimana mestinya.”

“Itulah yang perlu kita perhatikan,” simpul teman Pak Toha mendukung.

Perbincangan itu memang sering terjadi, meskipun kadangkala timbul perbedaan pandangan dari teman-teman Pak Toha yang lain. Bahkan masih ada sementara yang lain menganggap apa yang dilakukan Pak Toha adalah suatu pandangan yang idealistis, atau hanya sekedar mencari popularitas diri.

“Orang seperti itu berfikiran licik,” ujar Pak Toha bila mendengar anggapan semacam itu.

Begitulah kesibukan Pak Toha selama ini yang berakibat waktu-waktunya banyak tersita oleh kepentingan panti asuhan. Yang juga merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara sisa umurnya semakin menipis oleh gesekan waktu yang setiap detik selelau diburu kematian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.