Marlena, Perjalan Panjang Perempuan Madura; merupakan cerita bersambung (novel) berdasarkan realitas kehidupan masyarakat pesisir wilayah ujung timur Pulau Madura. Novel ini ditulis oleh Syaf Anton Wr , telah terbit dalam bentuk buku,
Episode Sembilan
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup ke dalam tanah? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan.” Demikian Ustadz Anwar menyitir ayat suci Al Qur’an, dalam ceramahnya di musholla dekat rumah Pak Toha.
“Perempuan pada zaman jahiliyah dulu dianggap sebagai sumber malapetaka. Pada waktu itu, para orang tua lebih memilih mengubur anak perempuannya, dari pada hidup menanggung malu. Padahal, mereka tahu apakah anak yang baru lahir itu? Mengapa mereka harus menanggung siksa yang demikian berat? Masya Allah, benar-benar biadab! Dan memang begitulah yang terjadi sebelum agama Islam turun,” lanjut Ustadz Anwar.
Hati Marlena tersekat. Bulu kuduknya berdiri, ngeri! Hati wanitanya berontak, tak bisa menerima kehinaan yang terjadi pada kaumnya di zaman jahiliyah.
Sampai di rumah, Marlena masih terus memikirkan kalimat-kalimat yang diucapkan Ustadz Anwar. Namun dia bersyukur, terlahir sebagai muslimah dan dibesarkan dalam keluarga yang sakinah. Sebagai wanita muslim dia sangat bersyukur, karena dalam agama Islam, wanita menempati kedudukan yang sangat mulia. Wanita sangat dihormati dan diberi kesempatan yang sama dengan kaum pria.
Sekarang, tinggal bagaimana kaum wanita itu memanfaatkan kesempatan yang telah diberikan kepadanya. Apakah dia bisa menempatkan dirinya sebagai makhluk yang dimuliakan, atau hanya sekedar sebagai lambang keindahan, pemuas nafsu, serta diperlakukan sebagai barang dagangan. Itu semua tergantung pada sikap wanita itu sendiri.
Terkadang hati Marlena terasa sakit bila melihat kaumnya diperlakukan tidak adil. Sering dia menjumpai seorang wanita yang bekerja di ladang atau di pantai sambil menggendong anaknya. Dengan susah payah wanita itu mencoba berbuat semaksimal mungkin. Namun upah yang diperoleh, jauh berbeda dengan perolehan kaum pria.
Bahkan masih lekat dalam ingatannya, bagaimana dia diperlakukan, ketika dia menjadi istri Kamil. Dia yang waktu itu masih berusia 9 tahun, sudah harus terjun ke pantai untuk membantu pekerjaan suaminya. Sampai di rumah, dia masih harus menyiapkan segala kebutuhan suami hingga malam menjelang. Walaupun badannya masih capek, dia harus bangun pagi untuk menyiapkan sarapan pagi bagi seluruh keluarga.
“Ah … semua itu tak akan terjadi lagi ….” batin Marlena sambil menghembuskan nafas panjang.
Fatimah yang berada di dekatnya menjadi heran melihat ulah adik angkatnya itu. Sejak tadi dilihatnya Marlena duduk termenung di ruang tengah. Walaupun matanya menatap pada layar televisi, namun Fatimah yakin adiknya tidak menikmati acara tersebut.
“Lena, sedang melamun ya…?” sapa Fatimah lembut.
“Ah, nggak kok !” jawab Marlena tersipu-sipu.
“Hayo. ngaku saja…. tak ada gunanya berbohong pada kakak,” desak Fatimah.
“Apa kamu ada kesulitan di sekolah? Katakan saja sejujurnya,” sambungnya.
“Kak ,” panggil Marlena manja.
“Ada apa?” tanya Fatimah sambil merapatkan diri ke tubuh adiknya yang cantik.
“Anu, bagaimana perasaan kakak ketika bersama Kak Darwis?” tanya Marlena.
Fatimah sama sekali tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Dia heran, mengapa tiba-tiba adiknya bertanya soal perasaannya pada Darwis tunangannya.
“Biasa-biasa saja. Ada apa sih?” Fatimah balik bertanya.
“Lho kok bisa?” tanya Marlena keheranan.
“Memangnya harus bagaimana? Kamu kira kami melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma agama?” tanya Fatimah semakin heran. Tumben adiknya ceriwis sekali malam ini.
“Sorry kak …., jangan tersinggung! Tadi sore Lena mengikuti pengajian, namun ada beberapa hal yang mengganjal di hati Lena,” jawab Marlena.
“Mudah-mudahan bukan perkara laki-laki.” sahut Fatimah.
“La justru itulah persoalannya. Ustadz Anwar tadi menjelaskan bahwa hubungan laki-laki dan perempuan itu hukumnya haram bila tidak dilandasi perkawinan. La kok Kak Timah dan Kak Darwis pacaran, apa itu tidak haram?” tanya Fatimah dengan lugunya.
“Ha ha ha, itu rupanya. Tidak salah apa yang diungkapkan oleh Ustadz Anwar itu. Memang diharamkan wanita berhubungan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Tetapi, dalam hal pacaran, kita dapat melakukannya secara Islami. Maksud kakak, semua itu sudah ada aturannya. Jadi tidak asal tabrak saja. Mengerti?” jelas Fatimah.
“Oooo, jadi tidak seperti di film-film itu toh?” tanya Marlena sambil melongo.
“Ha ha ha ha, !”
Keduanya tergelak-gelak sambil berangkulan menuju kamar tidurnya masing-masing. Sementara Pak Toha dan Bu Rasmi hanya geleng-geleng kepala melihat kedua putrinya itu.
Waktu berjalan begitu cepat. Tanpa terasa Marlena telah tumbuh seperti bunga yang mekar. Harum dan indah menawan hati. Banyak kumbang yang mengincarnya. Tetapi Marlena yang berhati karang, mampu menepis semua godaan itu. Hanya ada satu pemuda yang tidak mampu dilupakan oleh Marlena. Seorang pemuda yang cakap, pintar dan pandai bergaul. Di mata Marlena, pemuda itu berbeda dengan pemuda lainnya.
“Ada yang ditunggu?” tanya Taufik, sambil menyusul Marlena duduk di bawah pohon tanjung.
Marlena tersentak, karena pria yang dilamunkan tiba-tiba muncul di hadapannya. Wangi bunga tanjung terasa lebih harum di hidung Marlena. “Ah, nggak, hanya duduk-duduk saja kok,” jawab Marlena sambil menunduk. Gemuruh di dadanya sangat sulit untuk diatur. Ingin dia berbuat sesuatu, atau berkata lebih banyak, tetapi lidahnya terasa kelu. Salah tingkah jadinya.
“Kamu sendirian?” tanya Taufik kemudian.
“Seperti yang kamu lihat,” jawab Marlena singkat. “Aduh kenapa ya, aku kok jadi bodoh begini?” jerit hati Marlena.
“Aku tahu kamu duduk sendiri, tapi maksudku,” kata-kata Taufik terputus oleh bunyi bel.
“Aku masuk dulu ya, bel sudah berbunyi,” pamit Marlena tanpa menunggu jawaban dari Taufik.