Sistem Pemerintahan dan Suksesi Pemerintahan
Dalam menelusuri bentuk sistem dan suksesi pemerintahan di Sumenep pada periode pra-Islam, tahap awal dan satu hal yang perlu dipahami, yaitu menghubungkan periode yang berlaku secara nasional mengenai periode pra-Islam di kepulauan Nusantara dengan raja-raja Sumenep yang berkuasa pada periode itu, yang tercatat pada sumber-sumber sejarah yang ada. Dari sana dapat dilacak pola sistem dan suksesi pemerintahan pada zaman pra-Islam di kerajaan Sumenep.
Sampai saat ini, pencarian mengenai data kerajaan Sumenep yang sangat tua sulit dilacak. Bila dihubungkan dengan periode pra-Islam secara nasional, raja-raja Sumenep yang pernah berkuasa pada periode itu hanya tercatat pada akhir zaman Kerajaan Singasari dan masa Kerajaan Majapahit, selebihnya sukar ditemukan. Sultan Abdurrahman (salah satu raja Sumenep yang juga ahli bahasa) pernah memberikan keterangan sekilas tentang keberadaan raja Sumenep sebelum kedua periode itu. Keterangan Sultan Abdurrahman yang tercatat pada buku Reis Over Java en Balim in het midden van 1847 menyatakan bahwa pernah ada raja di daerah dusun Mandaraga, kecamatan Ambuten, Sumenep yang bernama Pangeran Rato. Keterangan Sultan Abdurrahman itu sejatinya perlu kajian lanjutan. Bila benar, maka kerajaan Sumenep adalah salah satu kerajaan tua di kepulauan Nusantara yang dapat bertahan hingga masa kolonial.
Raja Sumenep tertua yang pernah dicatat secara jelas dalam sumber sejarah, yaitu kitab Pararaton, adalah Banyak Wide atau Aria Wiraraja. Ia diangkat sebagai raja di Sumenep oleh Prabu Kertanegara yang pada saat itu menjadi penguasa Kerajaan Singasari. Sebelum Aria Wiraraja, pulau Madura hanya diperintah oleh seorang yang berpangkat Akuwu yang namanya tak pernah tercatat dalam sejarah.[1] Di kitab Pararaton, secara hirarki Sumenep memang jelas merupakan wilayah bagian dari Kerajaan Singasari. Kidung Harsa Wijaya menyatakan bahwa Aria Wiraraja memiliki pangkat Demung. Sedangkan Kidung Wijayakrama tidak menyebutkan dengan pasti apa jabatannya. Yang jelas, pada kitab Pararaton, Aria Wiraraja disebutkan sebagai bawahan dari Prabu Kertanegara.[2]
Secara kekuasaan, hubungan seperti ini merupakan suatu bentuk pemerintahan patrimonial, yang berarti ada struktur pendelegasian kekuasaan berdasarkan pemegang kekuasaan tertinggi. Namun, meskipun penguasa di Sumenep tunduk kepada maharaja yang bertahta di Jawa, para penguasanya masih memiliki otonomi yang luas. Di daerah masing-masing, setiap penguasa mempunyai wibawa sebagai raja penuh, karena itu mereka dapat menentukan dan memungut upeti sampai membebaskan suatu desa dari kewajiban membayar pajak. Karakteristik sistem pemerintahan kerajaan seperti ini banyak dipengaruhi oleh sistem kasta pada agama Hindu-Budha, khususnya pola makrokosmos dan mikrokosmos.
Untuk pendelegasian Aria Wiraraja sebagai penguasa di Sumenep tertulis dalam kitab Pararaton:
“Hana ta wongira, babatangira buyuting nangka, aran Banyak Wide, sinungan Pasenggahan Aria Wiraraja, arupa tan kandel denira, dinobake, kinon Adhipati ring Songennep, anger ing Madura wetan”.[3]
Penugasan Aria Wiraraja tersebut merupakan ambisi Prabu Kertanegara untuk memperluas wilayah kekuasaannya. Karena Aria Wiraraja adalah orang dekat penguasa Singasari sebelumnya, yaitu Narasinghamurti, yang disebut dalam kitab Nagara Krtagama memimpin Singasari bersama Wisnuwardhana, Aria Wiraraja dianggap suatu ancaman bagi kedudukan Prabu Kertanegara sebagai penguasa Singasari. Dikuatirkan oleh Kertanegara bila Aria Wiraraja tetap berada di lingkungan keraton Singasari, suatu saat akan terjadi perebutan kekuasaan, mengingat suksesi kerajaan Singasari selalu dilakukan dengan pertumpahan darah.
Setelah Singasari runtuh dan Majapahit berdiri—yang dalam proses transisi politik banyak dipengaruhi dan dibantu oleh Aria Wiraraja— Sumenep bukan lagi sebagai bagian dari Singasari, namun menjadi kerajaan yang berada di bawah kendali Majapahit. Perubahan politik kekuasaan ini ditegaskan Nagara Krtagama. Dikisahkan dalam Kakawin itu, pulau Madura adalah salah satu bagian dari kekuasaan Majapahit.
Hubungan Sumenep dan Majapahit tampak lebih damai dibandingkan dengan Singasari. Hal ini wajar karena Aria Wiraraja sebagai raja Sumenep banyak membantu Prabu Kertajasa Jayawardhana dalam membangun Kerajaan Majapahit, malah ia diberikan tambahan kekuasaan di daerah Jawa Timur bagian timur oleh Prabu Kertajasa Jayawardhana, yaitu Blambangan dan Lumajang. Pasca ia diberikan kekuasaan yang lebih besar, Sumenep diberikan kepada adiknya, Aria Bangah yang selanjutnya memiliki keraton di Banasare. Satu hal yang menjadi unsur khas dalam pemerintahan Kerajaan Sumenep adalah pasukannya yang terkenal kuat, karena hal itulah raja Sumenep sering dipinta bantuannya dalam mengirimkan pasukan untuk perang. Sampai kolonial datang, orang-orang Sumenep bahkan disatukan dalam suatu organisasi pasukan yang bernama Barisan.
__________________________
1 Iskandar Zulkarnain, dkk., Sejarah Sumenep, Sumenep: Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga, 2012, hal. 38.
2 Ibid., hal. 40.
3 Terjemahan, “Adalah seorang hamba, keturunan orang tertua di Nangka, bernama Banyak Wide, yang diberi sebutan Aria Wiraraja, rupa-rupanya tidak dipercaya, dijauhkan, disuruh menjadi Adipati di Sumenep, bertempat tinggal di Madura sebelah timur”.
Tulisan bersambung:
- Masa Kejayaan Kerajaan Sumenep Pra Islam
- Raja-raja Sumenep yang Berkuasa Masa Pra Islam
- Peperangan Periode Koloneal di Tanah Sumenep
- Kerajaan Sumenep Masa Periode Islam
- Masa Keemasan Zaman Sultan Abdurrahman
- Pengaruh Islam dalam Sistem Birokrasi Pemerintahan Sumenep
- Hubungan Kerajaan Sumenep dengan Belanda
- Pengawasan VOC Tidak Seketat Madura Barat
- Konflik yang Mengakibatkan Keruntuhan Kerajaan Sumenep