Keberadaan Masjid Agung Batuampar yang terletak di desa Batuampar, Kecamatan Guluk-guluk, Sumenep, Madura dampai saat ini masih tambah kokoh dalam bangunan arsitektur begitu sederhana.
Memang tampak ada beberapa sentuhan yaitu berupa tambahan perluasan di bagian depan dan samping kanan, namun kesan kesederhanaannya tak hilang. Apalagi jika masuk ke bagian utama yang masih dalam bentuk bangunan asli. Pada mihrab tampak tidak mengalami perunbahan.
Menurut takmir masjid, sejak dulu bentuk dan kondisi bangunan masjid seperti apa ada sekarang ini. Pendiri masjid adlah seorang tokoh besar pada masanya, yaitu Kiai Abdullah alias Bindara Bungso. Tokoh ini yang pertama kali membabat wilayah Batuampar.
Tidak hanya sebagai waliyullah, Bindara Bungso juga merupakan ayah dari Rato Sumenep, Bindara Saut alias Tumenggung Tirtonegoro. Meski begitu, hingga beberapa generasi dari dinasti Saut, tidak ada satupun yang berani mengotak-atik masjid tersebut dalam artian memegahkannya. Kalau terjadi pembaruan, itupun hanya perluasan, lantaran kapasitas jamaan makin meningkat.
Menurut catatan pewaris keluarga bangsawan di Batuampar, yakni dari keturunan Bindara Bungso, bahwa masjid tersebut dibangun sekitar tahun 1002 Hijriah, atau sekitar abad ke-16 masehi Namun menurut salah satu keluarga keturunan Bindara Saut di Sumenep perlu dikaji lagi, mengingat masa hidup Bindara Bungso diperkirakan abad ke-17 masehi. Dibanding Masjid Agung Sumenep dibangun pada masa Panembahan Sumolo yang tak lain adalah cucu Bindara Bungso, pada paruh kedua abad 18 Masehi.
Terlepas dari perdebatan masalah masa pembangunan masjid, di masa awal berdirinya dan beratus tahun setelahnya, masjid ini merupakan pusat belajar agama. Semacam pengguron atau pesantren. Generasi penerus Bindara Bungso di Batuampar memang dikenal sebagai tokoh-tokoh yang mumpuni di bidang agama dengan berbagai disiplin keilmuannya.
Dari sanalah banyak lahir para ulama dan umara di Sumenep khususnya, dan Madura sekaligus daerah tapal kuda pada umumnya. (*)