Keterbelakangan dalam pendidikan tampaknya pula membuat sebagian orang Madura tidak (kurang?) mampu mengaktualisasikan sikap mereka yang senyatanya mengandung nilai-nilai luhur sebagai kekuatan untuk pengembangan kehidupan mereka yang lebih bermakna. Alih-alih, ada kecenderungan di kalangan mereka untuk mewujudkan hal itu ke dalam bentuk perilaku yang justru merugikan mereka sendiri, masyarakat Madura, dan orang lain. Hal ini pula yang membuat mereka terkesan kuat terjebak ke dalam kemandegan untuk memaknai tradisi dan budaya mereka. Alih-alih, banyak masyarakat Madura menyikapi dan menjalani tradisi dan budaya melalui pembacaan masa lalu yang cenderung tersekat dengan realitas kekinian.
Beban identitas dan eksistensi mereka kian berat ketika keberagamaan sebagian mereka belum sepenuhnya berpijak pada nilai-nilai keberagamaan substantif. Mereka menjadikan agama sekadar sebagai identitas diri dan sarana memperoleh keselamatan eskatologis semata, namun pada saat yang sama mereka tidak meletakkannya dalam bingkai nilai-nilai moralitas agama yang hakiki. Keberagamaan ini menjadikan penganutnya berpeluang besar untuk terjebak pada fanatisme buta, tapi sekaligus hidup dalam perilaku yang berseberangan dengan nilai dan ajaran agama.
Persoalan lain muncul ketika keberagamaan itu bersinggungan dengan kepentingan sesaat seperti politik kekuasaan dan kekuatan yang bernuansa premanistik. Fenomena yang lalu berkembang adalah meruyaknya agama sebagai alat politik kekuasaan pragmatis, dan media untuk memperteguh konflik dan kekerasan di kalangan masyarakat. Pada saat yang sama, nilai-nilai luhur yang sejatinya menjadi inti ajaran agama tidak mengalami transformasi ke dalam kehidupan konkret mereka.[7]
Realitas semacam itu menggambarkan adanya budaya dan tradisi masyarakat Madura yang masih menyimpan sejumlah persoalan ketika dihadapkan dengan modernitas; khususnya Jembatan Suramadu sebagai salah satu ikon proses modernisasi di Indonesia dan bagian gurita globalisasi yang hadir begitu nyata di bumi Madura. Untuk itu, masyarakat Madura niscaya melakukan persiapan dan penataan lebih jauh dalam menyongsong modernitas dan globalisasi tersebut. Tanpa itu, mereka dikhawatirkan bukan hanya tergerus oleh derasnya aliran globalisasi, tapi juga akan terlepas dari agama dan nilai-nilai yang selama ini mereka anut.
Tulisan bersambung: