Kegersangan tanah, keterbelakangan pendidikan, dan kemauan keras untuk berbanting tulang demi survive-nya hidup, menyebabkan orang Madura berupaya untuk bekerja keras menurut kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu, tidak heran apabila dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya mereka banyak yang terjun dalam sektor informal. Panasnya terik matahari atau dinginnya hujan, belum lagi main kucing-kucingan dengan petugas tramtib, menyebabkan posisi mereka sering tidak nyaman.
Penjual telor ayam dari Madura itu, misalnya, suka ketus. Ketika si calon pembeli berkomentar- “Telor kecil-kecil begini kok mahal amat harganya, Pak!” – ia menjawab, “Lho kalau telurnya besar-besar ya dobol, mas!” (Kalau telurnya besar-besar ya jebol pantat ayam itu, Mas!).
Tapi ketika penjual mangga itu mendapatkan komentarnya yang sama rewelnya dari calon pembeli, ia hanya berkata dingin: “Soalnya saya baru masuk penjara, Mas….”.
Kagetlah si calon pembeli. “Lho apa hubungannya antara mangga dengan Bapak masuk penjara?”
“Ya, pokoknya saya ini barusan keluar dari penjara……”.
“Kenapa Bapak kok dipenjara?” akhirnya si calon pembeli terseret untuk bertanya tentang kenapa ia dipenjara.
“Ah ‘ndak enak mau ngomong Mas”.
“Ndak apa-apa! Ndak apa-apa! Saya juga bukan orang alim, kok!”.
“Terus terang begini ya Mas ya”, katanya kemudian, tetapi dengan suara lembut dan nada rendah, “Saya dulu dipenjara soalnya ya nylurit orang rewel seperti sampeyan ini…..”. Maka… lari tunggang langganglah calon pembeli itu.
Tidaklah kalah dengan pedagang di atas, tukang-tukang becak Madura menjadi cerita legendaris. Lampu merah di perempatan jalan tak dipedulikan. Ia menerobos saja, sehingga kendaraankendaraan dari arah yang bersilang menjadi panik setengah mati. Sambil menginjak rem kencang-kencang, mereka memaki-maki: “Goblok! Goblok! Dasar tukang becak goblok!” Sudah tahu lampu merah masih nyelonong saja! Goblok!
Tapi tokoh kita tidak terpengaruh sedikit pun. Sambil tetap nggenjot pedal becak pelan-pelan, ia menjawab sambil tersenyum: “Ya kalau ‘ndak goblok ‘ndak mbecak saya, Pak!”
Anekdot di atas mencerminkan betapa kumpulan manusia-manusia Madura ini seolah-olah medemonstrasikan kesanggupan mereka dalam bercermin diri. Menunjukkan kematangan mereka untuk bersikap realistis, egaliter, tegas, terbuka, dan sekaligus kritik. Dan lagi, betapa serius muatan-muatan kritik dalam humor. Ketika penjual telor mengatakan, “Kalau telurnya besar-besar ya jebol pantat ayam itu, Mas!” itu artinya orang Madura bersikap realistis, tegas, terbuka, apa adanya, taken for granted. Mereka tidak mempersoalkan “apa” dan “bagaimana” –dalam Filsafat ilmu disebut ontologi dan epistimologi— tetapi lebih pada nilai praktis (axiologi) yang ada pada telor itu. Secara teologis, pernyataan itu merupakan refleksi kepercayaan terhadap sunnatullah yang ada di muka bumi ini. “Memang begitulah kehendak dan aturan Allah yang diberlakukan kepada makhluk (telor atau ayam) itu” begitulah kira-kira jawaban dalam hati orang Madura itu.
Hubungan antara mangga dan penjara mencerminkan bahwa hidup itu penuh dengan perjuangan (walau dengan cara menjual mangga sekalipun). Elan dasar tawar-menawar, pada hakikatnya, adalah upaya men-defisit-kan milik orang lain sembari men-surplus-kan milik dirinya. Di sini sudah terjadi ketidak-adilan, baik secara sosial maupun ekonomi. Secara sosial telah terjadi pelecehan, stigmatisasi, strerotype, diskriminasi atau apapun namanya sehingga bertentangan nilai-nilai kemanusian. Secara ekonomi, telah terjadi “monopoli” para pemiliki duit (kapitalis) untuk mengeksploitasi orang-orang lemah (atau yang diperlemah, mustad’afin) sehingga mereka tetap dalam posisi marjinal atau obyek yang menderita yang merupakan watak imperialisme. Penjara, adalah simbol dari hasil spekulasi, menjadi alternatif akhir ketika perdamaian mengalami kebuntuan sekaligus juga merupakan konsekuensi dari sebuah nilai akhir perjuangan.
Sementara, ketika tukang becak Madura itu bilang “ya kalau ’dak goblok ’dak becak saya pak!”, bagi orang yang punya imajinasi itu merupakan protes telak terhadap logika sistematik antara ketidak merataan ekonomi, kesempatan berpendidikan dan sempitnya peluang pekerjaan.
Bahkan pernyataan tukang becak itu juga merupakan semacam analisis terhadap tidak rasionalnya proses kualifikasi kepemimpinan profesionalitas dalam tatanan sistem sosial kota. Orang yang pantasnya jadi korak malah menjadi pemimpin yang cocoknya jagi gubernur malah jadi tukang ojek. Seorang camat tidak dijamin putra terbaik di kecamatan itu. Juga seorang bupati, gubernur, kasubdit, kakanwil, menteri…..dan sebagainya. Seandainya ada jaminan keadilan sosial dan pemerataan kesempatan eksistensi, tukang becak Madura itu tidak tertutup kemungkinan bisa memenuhi harapan rakyat Indonesia tentang Menteri yang tahu diri, orang-orang pinter yang tidak emosional, ilmuwan yang tidak sok pinter, pemimpin yang jika berbuat kesalahan – untuk menutupi kesalahan dan ketidakmampuan– tidak menimpakan kesalahan itu pada anak buahnya sementara dirinya berleha-leha duduk di kursi empuk jabatannya atau bisa jadi pejabat yang tidak aji mumpung, sementara rakyatnya kelaparan.
Kisah pengendara sepeda motor dari sampang yang marah-marah, ditilang polisi gara-gara tidak memiliki SIM. Sebenarnya, ia sudah menyodorkan SIM ke Polisi. ”ini bukan SIM saudara! Nama dan fotonya berbeda!” kata Bapak Polisi. Maka tersinggunglah si pengendara sepeda motor itu: ”lho bapak ini aneh-aneh! Lho wong yang saya pinjemi SIM aja ’dak marah, koq malah Bapak yang marah”.
Sepintas memang terasa bahwa si pengendara sepeda motor orang Madura ini tampak bego, namun kalau disimak secara sekasama sesungguhnya ia sangat cerdas, lugu, tidak menipu sekaligus uapya melindungi diri melalui perangkat logikanya. Logika hukum tentang tidak boleh menggunakan SIM milik orang lain itu tidak ada dalam kamusnya, kecuali tidak boleh mencuri SIM orang lain dan larangan mengendarai sepeda motor tanpa membawa SIM. Betapa jeli dan cerdasnya orang itu menangkap bahasa formal hukum dan ketidaklengkapan informasi yang diproduk dan disosialisasikan polisi ke masyarakat. Misalnya, UU lalu lintas berbunyi: ”Mengemudikan kendaraan bermotor, tidak dapat menunjukkan SIM dipidana kurungan dua bulan atau denda maksimal dua juta rupiah”. Mestinya bunyi kalimat yang diinformasikan ke masyarakat adalah: ”Setiap pengendara sepeda motor wajib memiliki dan dapat menunjukkan SIM sesuai dengan nama, tanda tangan dan pas foto. Kalau tidak, maka akan dihukum atau didenda ”.
Tentu saja bukan hanya permainan kata, tetapi pertanyaan bisa dikembangkan: mengapa tidak semua pengendara motor memiliki SIM? Apakah sulit mencari atau mendapatkan SIM? Apakah mahal biayanya?. Konon, menurut pengalaman empirik dari dulu sampai dengan era komputer tetap saja yang namanya pelayanan publik di Indonesia (termasuk bagaimana mendapatkan SIM) masih belum beranjak dari kebiasaan sebelumnya, yakni berbelit-belit dan kadang diombang ambing sehingga timbul pameo, ”kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah”.
Tentunya ada pengecualian dengan ”KUHP” (Kasih Uang Habis Perkara) untuk kasus-kasus tertentu untuk memperlancar atau memperpendek waktu sehingga masyarakat segera mendapatkan yang diperlukan. Bisa saja sih kita tuduh si pengendara sepeda motor orang Madura itu malas, tapi jangan lupa bisa juga soal lain; jangan-jangan dia tidak mau harga dirinya terluka karena pengalaman empirik selalu dipermainkan. Maka tawashow di atas sekaligus sebagai kritik sosial terhadap aparat pelayanan masyarakat.
Masyarakat Madura dengan keterbatasan yang dimiliki berusaha untuk memiliki kedewasaan dan kearifan tersendiri. Jadi tidak benar bahwa orang Madura suka naik pitam. Masih lebih suka marah para aparat keamanan, para pemimpin moral dan penguasa. Oleh karena itu perang intern suku Madura juga tampaknya pesimistik bisa terjadi.
Kenapa terjadi perang antara suku?
Sebab mana ada orang yang mau direndahkan. orang sesama Jawa saja atau suku apapun lainnya kalau diejek ya pasti marah, apalagi orang Madura yang begitu temperamental –untuk mempertahankan harga dirinya—akan berupaya membela diri.
Dan seandainya perang Jawa-Madura benar-benar terjadi gara-gara sebiji anekdot, jangan cepat salah sangka bahwa orang Jawa pasti halus lembut, mengacungkan keris sambil membungkuk dan berkata “Nyuwun sewu lho, kulo badhe nunyuk bathuk panjenengan…” (permisi lho, saya hendak menohok jidat paduka), tetapi orang Madura juga bisa tak kalah halus dan dingin: “e yatoreh, mon ta’ epenthong cetakkah sampeyan…” (ya, silakan, tapi nanti kepala sampeyan saya pentung).
Berangkat dari kekaguman dan pujian kepada watak, kepribadian, keluguan dan kecerdikan inilah, maka orang Madura bisa dikategorikan sebagai the most genius people.
Tawashow Politik : Kelugasan Madura vs CV. Politik Pribadi
Orang Madura itu lugu, tegas dan juga serius dengan kata-katanya. Kalau ia menyatakan sesuatu, biasanya karena memang demikian isi hati atau pikirannya. Kalau ia mengungkapkan suatu bentuk sikap tertentu, biasanya karena memang begitulah muatan yang ada dalam bathinnya.
Seorang Kyai lokal Madura umpamanya, berkata di depan Bupati: “Annu, Pak !, tolong Pak Bupati jelaskan semua rencana pembangunan maupun proyek yang sedang berlangsung, rancangan dan konsepnya bagaimana, biayanya berapa, pengeluarannya untuk apa saja, ada kecelakaan atau tidak, dan lain sebagainya. Soalnya uang itu, kalau ‘dak salah’ kan uang rakyat. Jadi Pak Bupati harus mempertanggung jawabkan kepada Rakyat. Kalau tidak, kasihan rakyat Pak”. Moso’ sudah PJPT kedua begini, rakyat dibiarkan buta huruf tehadap pembangunan.jangankan tehadap makna pembangunan, lha wong tehadap angkaangka dan manajemennya saja, buta huruf….”
Dan itulah perbedaan utama dengan misalnya, orang Jawa dan Politisi. Kalau orang Jawa dalam situasi hubungan yang seringkali feodalistik mengatakan “ya”, jangan langsung beranggapan bahwa ia memang menyetujui apa yang ia dengarkan atau apa yang anda mintakan persetujuannya. Ada kemungkinan ia masih menyimpan “tidak” diruang dalam bathin mereka atau minimal dalam gumpalan mondolan blangkon kepala mereka; tidak usah terkejut, apabila ia tetap menyimpan “tidak” itu sampai bertahun-tahun lamanya. Ketidak menentuan “ya” dan “tidak” mereka bisa disebabkan oleh kekuatan hirarkis, atau justru politik kekuasaan atas anda.
Politisi biasanya kan juga begitu. “Ya” dan “tidak”-nya politisi bergantung kepada titik proyeksi yang diarahkan, atau kepada tingkat konsesi yang diam-diam ditargetkan. Memang, sih, ditinjau dari segi bahasa, politik adalah kata benda (mashdar, noun) yang kata kerjanya bisa berbentuk kata kerja aktif (mendapat awalan ”me”) atau kata kerja pasif (mendapat awalan ”di”). Dengan demikian, ”pekerjaan” politik berkisar pada dua kemungkinan: apakah ia ”mempolitiki” atau ”dipolitiki”. Selain itu, kita kerap mendengar kata ”politik” diplesetkan menjadi ”policik” sebagai bentuk klimaks kritik terhadap ketidak puasan kinerja dan prestasi mereka, khususnya ketika janji-janji mereka kepada rakyat tidak dipenuhi sebagaimana diharapkan..