Mati Ketawa Ala Madura

Orang Madura dan Polisi (sumber: youtube)
Orang Madura dan Polisi (sumber: youtube)

Ketidak tegasan dan hipokrisi para politisi diperparah lagi oleh realitas empirik bahwa banyak terjadi para politisi bukan bekerja sebagai  pejuang nilai, pejuang demokrasi atau pejuang harkat kerakyatan di jalur politik, melainkan justeru demi memperjuangkan keperluan pribadinya di dalam struktur kekuasaan politik, dimana demokrasi dan kedaulatan rakyat adalah ”alat produksi” atau komoditas dari ”CV.” Politik yang didirikannya.

 Sedangkan orang Madura, meskipun pasti tidak semua, relatif berbeda. Kalau ia mengucapkan sesuatu, biasanya karena memang demikianlah isi hati pikirannya. Kalau ia mengungkapkan sikap tertentu kepada anda, biasanya karena memang begitulah muatan hatinya. Memang mungkin juga sih, kita bisa menemukan orang Madura yang bisa kita kasih uang sekedar sepuluh ribu rupiah untuk ikut unjuk rasa yang kita rekayasa untuk mempertahankan Bupati dari jabatannya, meskipun kesalahan Pak Bupati sudah sangat ironis, memalukan dan menyangkut nyawa sejumlah rakyatnya sendiri.

 Pak Kyai itu mengucapkan dengan wajah polos dan hampir tanpa ekspresi. Ia begitu bersungguh-sungguh dengan ucapannya, dan mungkin sampai detik ini belum sanggup membayangkan bahwa hal seperti itu, mungkin terjadi di Jombang, Klaten atau atmosfir budaya kekuasaan Jawa lainnya.

Pada     suatu kesempatan, Sang Penyair pernah diundang untuk menghadiri dan sedikit urun bicara dalam acara khaul seorang Kyai besar masa silam yang diperingati hari wafatnya dengan pengajian dan tahlilan besar. Terus terang, ia biasanya sangat  jengkel oleh bertele-telenya ritus acara-acara yang diselenggarakan oleh komonitas muslim Indonesia. Bahkan pada “kaum modern” pun, biasanya pembawa acara ngomongnya menggunakan bahasa

Indonesia sinetron, urutan acara dijejali oleh sangat banyak sambutan yang isinya 90% pura-pura, dan keseluruhannya ditaburi oleh formalisme dan ritualisme yang membosankan.

 Lha, di Madura ini, tiba-tiba saja ada santri naik podium, kasih salam, kemudian langsung membacakan ayat-ayat suci AlQur’an. Sesudahnya, pembawa acara –yang tidak naik podium– berkata: “Sekarang langsung saja kita persilahkan kepada Sang Penyair…..”. Sambil naik mimbar, Sang Penyair berpikir: “Alangkah efektif dan efisiennya kawan-kawan Madura ini”. Tapi memang semua yang hadir sejak sebelum berangkat sudah tahu ini acara apa, dalam rangka apa, maknanya kira-kira apa, dan lain sebagainya, sehingga sama sekali tak diperlukan orang-orang harus manggung untuk menjelaskan itu semua.

  Maka Sang Penyair pun langsung “nyanyi” dua jam penuh. Namun, ditengahtengahnya, tampak oleh sang penyair sejumlah pejabat, berpakaian safari dan lainnya baju batik panjang. Mereka turut mendengarkan dengan serius, tetapi dari jauh dirasakan ada sesuatu yang tidak sreg dalam batin mereka. Hal itu, diketahui setelah selesai acara, yaitu ketika mereka ramai-ramai makan siang.

 Tampaknya ada semacam protes dari wilayah birokrasi, kenapa acara sambutan yang sudah dipersiapkan capek-capek, tidak diberi kesempatan. Di tengah ”kegerundelan” itu terdengarlah suara keras dan lugu dari salah seorang Kyai: “Lho Pak. Kalau kami diundang ke kantor Kabupaten, kami disuguhi teh botol, disuguhi snack dan kami ikhlas disuruh mendengarkan pengarahan. Masak Bapak tidak ihklas diundang kami, wong kami sudah ikhlas menyembelih kambing dan ayam. Jadi silahkan menikmati keikhlasan kami dan silahkan mendengarkan!”

 Pengalaman lain yang hanya dijumpai di Madura oleh Sang Penyair adalah ketika ia sedang berapi-rapi bagaikan Nabi Sulaiman yang sedang berpidato di depan massa jin, mendadak seseorang berdiri dan mengacungkan tangan sambil berteriak: “Cak! Ucapan ayat sampeyan itu, keliru!”. Itulah gambaran ketegasan orang Madura.

Tawashow  Moral Sosial: From Sumenep To Singset Oriented

Sudah diakui umum bahwa Madura lebih modern, lebih efisien, dan lebih memahami ilmu hemat, dibanding manusia modern sebelah manapun di muka bumi ini. Setidak-tidaknya dalam soal-soal yang menyangkut tubuh kaum wanita. Bukankah legenda tentang seks wanita Madura hanya bisa ditandingi oleh sedikit etnik lain?

Kaum perempuan Madura, yang dibesarkan oleh kekeringan dan kekerasan lingkungan, bukan saja pakar jejamuan yang singset Oriented. Bukan saja sejak dari sononya memang dianugerahi katuranggan alias natural behavior yang istimewa di bidang seks. Bukan saja teknokrasi dan teknologi seksnya yang canggih, tetapi filosofi dan moralita seksnya juga luhur. Labih dari itu, kebudayaan Madura telah matang untuk menyadari betapa wanita harus dihemat. Unsur-unsur wanita ada yang boleh go public, tapi ada yang hanya boleh go husband. Jangankan ada yang menyentuh, memandang saja pun kan menjadi masalah. Simak saja bagaimana dahsyatnya malam pertama kisah from Sumenep with love berikut:

Pemuda Sumenep bertahan dalam penantian dengan calon isterinya sampai lima tahun.  Selama masa penantian, tidak seserpih pun menyingkap kain atau rok si gadis idaman yang toh kelak akan menjadi bagian dari privacy-nya. Prestasi tertingginya hanyalah memegang tangan si perawan, itupun dengan sangat gemetar dan ketakutan. Betapa nikmatnya ketakutan itu. Dalam berpacaran, sepanjang menyangkut konteks biologis, ketakutan jauh lebih afdol dibanding keberanian.

Memang jangan lantas membayangkan Madura adalah semacam “Pulau Santri” di mana segala-galanya serba steril dari maksiat. Tapi yang penting pemuda Sumenep kita ini jangan sekali-kali dibanyangkan pernah nonton bareng atau kencan malam minggu, seperti yang terjadi pada anak modern saat ini.

Fantasi dan imajinasi saja. Ya, lima tahun penuh fantasi dan imajinasi saja. Sehingga tatkala malam bulan madu pertama tiba, mestinya ”dam” itu cepat jebol. Tetapi si Sumenep kita cukup dingin: ia nikmati istrinya sedikit demi sedikit dan amat perlahan. Diinstruksikannya sang istri untuk membebaskan diri dari pakaiannya. Sekali lagi: sedikit demi sedikit dan amat perlahan-lahan. Slow motion. Kemudian sesudah ”demokrasi dan keterbukaan” sempurna, ia sutradarai sang istri untuk melakukan gerak   keindahan.      Seindahindahnya.

Ibarat lakon sandiwara, ini eksposisi. Baru kemudian memulai adegan konflik. Ia pandangi tubuh istrinya dengan penuh kekhusukan. Sedikit demi sedikit dan amat perlahan-lahan. Dari ujung rambutnya, keningnya, matanya, hidungnya, bibirnya, dagunya, kemudian melompat-lompat sampai lengkap.

Selesai lakon adegan konflik, ia ingin tahu bagaimana ”pusat kebudayaan” yang – kata orang– sangat lucu bentuknya dan misterius perangainya. Si Sumenep ini mungkin membayangkan, setelah melewati gunung yang terjal ia hendak berburu ke kedalaman hutan belantara yang eksosistemnya masih lebat, perawan dan terpelihara. Badannya mulai berkeringat, wajahnya menegang, sorot matanya menjadi aneh, dan tiba-tiba tanpa terpaksa sampailah ia pada ”pusat kebudayaan” itu sambil bergumam: “Alaa! Kayak gini saja nunggu lima tahun!.”

Lima tahun bukanlah waktu yang pendek; Lima kali 365 hari! Beberapa jam itu? Berapa menit? Berapa detik? Hitunglah sendiri. Padahal jika kita memasuki atmosfir nafsu seks di depan bayangan aurat perempuan, menunggu lima menit saja serasa berhari-hari sengsara dalam keputusasaan.

Tapi pemuda kita ini mempertahankan dengan penuh disiplin. Ia memahami betul kapitalisme kenikmatan seks. Ia mengerti ilmu berhemat atas aurat wanita. Ia berusaha tidak mengalami rasa jenuh pasar terhadap si perawan. Kalau dibuka-buka sejak sekarang, kalau diusapusap tiap malam minggu, kalau didusel-dusel kapan saja sempat; kadar kenikmatan akan menurun drastis. Rasa penasaran, getarangetaran esotorik, akan melorot tak ketulungan. Wanita menjadi murah harganya. Menjadi koden dan kacangan.

Padahal kalau dihemat, setiap hari pori-pori tubuh sang kekasih adalah sorga. Setiap sentimeter kulitnya adalah telaga yang menakjubkan. Pemuda Sumenep kita ini bertahan sekian lama agar percintaan dan kemesraannya tidak mengalami prematur ejekulasi. Bukanlah anak-anak muda yang pacaran dengan cara menghabiskan jatah kenikmatan suami-istri sesungguhnya sedang merancang suatu ejekulasi dini yang karbitan secara psikologis maupun, bahkan, biologis?

Pada masyarakat metropolis, perkosaan memang jarang terjadi, tetapi apakah masyarakat metropolitan lebih bermoral sehingga angka perkosaan rendah? Tidak, tetapi di kota-kota besar perkosaan lelaki atas wanita tidak perlu banyak terjadi, karena hubungan seks bisa dilakukan tanpa paksaan. Segala infrastruktur sosial ekonomi dan sosial budaya untuk demokrasi seks telah tersedia, ”rekanan bisnis” tak terlalu sukar dicari, uang untuk menyewa motel ada, jenis-jenis kamar sewaan juga semakin canggih.

Bahkan para pemilik modernitas telah pula menyiapkan dalih-dalih ”nilai luhur” untuk membela kebebasan dan hak asasi manusia untuk menjadi hewan. Untuk apa memperkosa wong sudah tersedia ”swlayan”, short time, long time dan sebagainya. Kota-kota besar, masyarakat modern, peradaban metropolitan, telah mempelopori liberasi dan ekploitasi barangbarang kaum wanita yang sebenarnya bersifat privat, malah dipamerkan di etalase toko-toko, bahkan menjadi andalan komoditi utama sejumlah koran kuning.

Manusia disebut manusia karena kehormatannya. Kalau ada lelaki nguthakngutek onderdil istri, yang terhina bukan hanya kehormatan istri atau wanita itu sendiri. Dan kalau kehormatan sudah direnggut, nilainya sama dengan kematian. So, kalau pun terjadi carok, misalnya, itu sekedar mekanisme yang melaksanakan pemenuhan nilai kematian itu.

Mengucurnya darah dari badan tidaklah ada artinya dibanding suatu bentuk kekejaman dan kekerasan nilai yang merontokkan harkat kemanusiaan; lebbi bagus pote tolang e tembang pote mata (lebih baik mati dari pada menanggung malu). Apakah anda lebih mengidentifikasikan diri ke “badan manusia” dibanding

“kemanusiaan”? Bukanlah kematian tubuh seorang pahlawan bisa kita relakan asalkan demi kehidupan dan kejayaan nilai kebenaran yang diyakini? Makanya, di Pulau Madura jarang ada perkosaan karena secara tradisional berlangsung kontrol moral sosial yang ketat, dan itu pasti lebih baik dibanding komoditi seks bebas yang dibangga-banggakan oleh peradaban modern. Oleh karena itu, bagi pemuda kita ini, percintaan dilakukan secara disiplin dan proporsional demi moral, demi tidak dosa, demi menjunjung tinggi norma susila, norma sosial dan norma agama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.