Konon orang Madura dikenal sebagai masyarakat religius dan sangat serius dengan religiusitasnya. Karena itu mereka berduyun-duyun pergi ke Masjid dengan wajah berbinar-binar. Kalau mereka pergi haji ke Mekkah, bercahayalah air muka mereka, sambil diam-diam berdo’a: “Tuhan, Kekasih, ambillah aku selama-lamanya! Tak usah Engkau kirim aku kembali ke negeri tipu daya yang penuh fatamorgana di toko-toko yang serba ada, serta berada di tempat yang apabila rakyatnya kelaparan, malah pemimpin sibuk berorasi”. Kalau aku mati berati itu adalah kegembiraan yang –kalau Tuhan membolehkan—akan dijalani dengan tertawa.”
Mati bukanlah tragedi, melainkan sukses berpisah dari dunia yang kerjaannya cuma menipu untuk bertemu dengan Kekasih yang amat didamba-dambakan. Itupun dengan jarak waktu yang tak terbatas, bahkan waktu itu sendiri tidak cukup untuk menampung pertemuan mesra antara para hamba dengan Kekasih mereka, mati adalah pertemuan cinta abadi.
Lain dengan orang-orang maju yang ada dikota-kota besar. Mereka tidak rela mati. Kalau Malaikat bertanya: ”Bagaimana kalau saya usulkan umurmu diperpanjang?”. Tentu mereka menjawab: ” ”Wah, Al–hamdulillah banget”. Padahal ternyata Tuhan hanya ngasih kita 55 tahun, dan itu hak prerogratif Dia. Dialah yang memiliki license dan copyright atas eksistensi kita seratus persen. Mereka tidak siap mati karena telah menjatuhkan pilihan untuk berpacaran tidak dengan Kekasih sejati, melainkan dengan kekasih yang dibooking perjam; dengan kedudukan dan jabatan; dengan rumah mewah; dengan kendaraan yang selalu baru.
Sementara, orang Barat –di samping tidak mempercai adanya kehidupan setelah kematian– mempunyai asumsi dan kepercayaan bahwa kematian itu menyakitkan dan jiwa akan mengalami sengsara dalam fase-fase sesudah mati.
Alhasil, arti mati ketawa ala Madura adalah mati serius yang dijalani gembira dan batin tertawa-tawa. Oleh karena itu, hidup pun mereka jalani dengan serius, sehingga kehidupan merupakan suku cadang untuk merakit kematian yang sebaik-baiknya. Setetes darah pun mereka hayati dengan penuh keseriusan dan pertimbangan nilai yang matang. Ketika seorang pemuda Madura tergeletak di rumah sakit, diinfus dan membutuhkan sumbangan darah, ia juga tetap serius memoralkan setiap tetes darah yang akan masuk ke dalam dirinya. Tatkala darah yang dibawa kepadanya adalah darah seorang Pamannya, ia menolak keras: ”Saya tidak sudi dimasuki darah Paman saya! Lho wong dia suka maling dan mengganggu isteri orang. Kalau darah dia mengalir dibadan saya, siapa yang kelak akan mempertanggungjawabkan didepan
Tuhan? Darah itulah yang menjadi sumber tenaga dari kekuatan-kekuatan kurang-ajar dia, ”Saya tidak ingin dibebani oleh kekuarang-ajaran Paman Saya”, tegasnya.
Mengingat kematian adalah pertemuan dengan Sang Maha Kekasih sejati; suatu pertemuan cinta abadi, maka kematian yang –semula oleh banyak orang– ditakutkan pada hakikatnya adalah kehidupan yang dirindukan.
Penutup
Sebenarnya masih banyak lagi realitas sosial yang masuk dalam kategori tawashow, baik dalam perspektif psikologis, sosiologis, teologis maupun sufistik. Namun yang ingin disampaikan lewat tawashow Ala Madura ini adalah bahwa kita berupaya memahami realitas bukan hanya pada – pinjam istilah Kant—fenomena yang tampak ke permukaan, tetapi juga berupaya memahami nomena dibalik realitas yang terjadi, termasuk realitas orang Madura. Dengan demikian stereotype tentang masyarakat Madura sudah saatnya dihilangkan. Wa Allâh a’lam bi al-shawâb
*Dosen tetap pada Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan, Alumni Magister Pendidikan pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
(Tulisan ini dianfkar dari KARSA, Vol. XI No. 1 April 2007, versi PDF dan diunduh dari media.neliti.com)