Di Indonesia, tak ada cerita koran atau majalah mati dalam keadaan atau dengan cara ketawa. Pasti dengan sedih dan duka derita. Kenapa? Karena negara kita adalah negara Indonesia, bukan negara Madura.
oleh Emha Ainun Nadjib
BUKAN politik ya ng saya bicarakan, melainkan agama. Bagi orang Madura yang umumnya religius dan sangat serius dengan religiusitasnya, mati adalah kegembiraan yang kalau Tuhan membolehkan – akan mereka jalani dengan tertawa-tawa. Bagaimana tidak, wong mati itu artinya sukses berpisah dari dunia yang kerjaannya cuma menipu, dan ketemu dengan Kekasih yang amat didamba-damba, itu pun dengan jarak waktu yang tak terbatas, bahkan waktu itu sendiri tak cukup untuk menampung pertemuan mesra antara para kekasih dengan Kekasih mereka.
Karena itu kalau mereka berduyun-duyun pergi ke masjid, berbinar-binar wajah mereka. Kalau mereka pergi haji ke Mekah, bercahayalah air muka mereka, sambil diam-diam berdoa: “Kekasih, ambillah aku selama-lamanya! Tak usah Engkau kirim aku kembali ke negeri tipu daya yang penuh fatamorgana di toko-toko serba ada, serta yang kalau seorang bupati mendapatkan rakyatnya mati ditembak tentara dalam proyek yang dijalankannya, ia malah tampak bangga….”
Lain dengan kita yang di Jawa, terutama di Jakarta. Kalau pergi salat Jumat, cemberut wajah kita, dan sesampainya di masjid, dijamin pasti mengantuk mata kita. Kita di kota-kota besar, di wilayah-wilayah metropolitan dari peradaban yang mengaku paling maju ini, telah menjatuhkan pilihan untuk berpacaran tidak dengan Kekasih Sejati, melainkan dengan kesenangan-kesenangan temporer, dengan kekasih-kekasih sementara yang kita book per-jam, dengan kendaraan-kendaraan yang selalu baru, syukur berusia di bawah 20 tahun, serta dengan kedudukan-kedudukan yang jasanya adalah membuat kita merasa cemas akan dijatuhkan oleh para demonstran darinya.
“Bagus, dan greget! Dan bahasa tulisannya orisinil dan enak dibaca.”