Jadi bagi kita yang sudah “maju”, yang ada hanya mati cemberut, mati tidak rela. Mati kita tidak serius, tidak benar-benar bersedia menerima mati, alias terpaksa. Kalau malaikat bertanya: “Maunya kamu hidup sampai umur berapa sih?” Kita menjawab, “Yaaah, paling tidak 70 tahun-lah.” Malaikat menggoda: “Bagaimana kalau saya usulkan ke Tuhan umurmu diperpanjang 10 tahun lagi, jadi 80 tahun?” Kita menjawab, “Wah, alhamdulillah banget”. “kalau ditambah jatah 20 tahun lagi, mau?” Wajah kita malu-malu, tapi jawaban kita jelas: “Ya, mosok ndak mau…”
“Kalau 30 tahun lagi, 40 tahun lagi, 1000 tahun lagi….?” Kita salah tingkah, tapi jelas: mau! Padahal ternyata Tuhan hanya ngasih jatah kita 55 tahun, dan itu hak Dia sepenuhnya, wong Dia yang bikin kita, Dia yang memiliki license dan copyright atas eksistensi kita seratus persen. Mau apa, lu? Ya, kagak mau ape-ape. Jangankan ame Tuhan, mau melawan petugas saja ampun-ampun. Cuma dongkol doang. Nelangsa. Sampai akhirnya benar-benar mati, mati nelangsa.
Padahal orang Madura tidak mati nelangsa. Mereka umumnya mati ketawa. Rela mati, bahkan memang mengharapkan mati. Karena mati bukan tragedi, melainkan pertemuan cinta abadi. Karena itu juga Madura lebih ringan membayangkan indikator apa saja yang bisa membawa ke kematian. Carok tidak keberatan: akibat paling puncak paling-paling kan mati. Dan carok kan peristiwa untuk membela kehormatan, harga diri dan nilai moral.
Memang carok bukan cara yang dewasa dan beradab untuk menyelesaikan masalah. Tapi terus terang saja mereka yang tidak setuju, tak menerima dan tak berani carok itu bukan berarti sudah dewasa dan lebih beradab. Mereka tak mau carok karena memang standar kehormatan, harga diri dan moralitas yang hendak dipertahankan memang sudah tidak ada, atau sekurang-kurangnya sudah tipis, sudah dikurangi sambil ditutup-tutupi dengan argumentasi-argumentasi yang muluk-muluk cara orang modern mengkosmetiki bibirnya yang kebanyakan nyinyir.
“Bagus, dan greget! Dan bahasa tulisannya orisinil dan enak dibaca.”