Peterongan, sebuah desa yang sebagian penduduknya menggantungkan hidupnya sebagai orang yang memiliki profesi ‘pandai besi’ dalam membuat arit dan celurit. Keahlian mereka adalah warisan dari para leluhur sejak tahun lampau. Bagi seorang pandai besi bernama Salamun—salah seorang warga paterongan-, celurit tak hanya sekadar benda tajam yang dipertahankan karena warisan dari para leluhur. Pembuatan celurit parlu kehati-hatian dan ketelitian karena celurit lebih merupakan nilai seni yang harus diapresiasi.
Dari pembuatannya, sebelum membuat celurit, seorang pandai besi telah terbiasa berpuasa bahkan setiap tahun, tepatnya pada bulan Maulid. Bahkan, tombuk yang digunakan utuk menempa besi, pantang untuk dilangkahi, apalagi diduduki. Karena, menurut tradisi di Peterongan, jika ini dilanggar biasanya akan berakibat sakit-sakitan pada si pelanggar
Dus, di sinilah terdapat sebuah nilai etika dan estetika dalam suatu kebudayaan masyarakat (khususnya di Peterongan). Nilai itu adalah: pertama, nilai etika tergambar pada aspek spiritual degan berpuasa terlebih dahulu sebelum membuat celurit. Kepercayaan terhadap kekuasaan Tuhan merupakan nilai etika terhadap Sang Pencipta. Dengan kepercayaan dan kepatuhan demikian, seorang pandai besi mempunyai pandangan bahwa manusia—walaupun sudah bisa menciptakan celurit—merupakan makhluk yang lemah tanpa pertolongan dari-Nya.
Kedua, nilai estetikanya penulis sependapat dengan pandangan puisi yang terdapat dalam puisinya Pak De—panggilan akrab untuk penyair Madura: D. Zawawi Imron, bertajuk: “Celurit Emas”,
Bila musim melabuh hujan tak turun,
kubasahi kau dengan denyutku.
Bila dadamu kerontang,
kubajak kau dengan tanduk logamku.
Di atas bukit garam kunyalakan otakku.
Lantaran aku tahu, akulah anak sulung
yang sekaligus anak bungsumu.
Aku berani mengejar ombak.
Aku terbang memeluk bulan.
Dan memetik bintang gemintang
di ranting-ranting roh nenek moyangku.
Di bubung langit kuucapkan sumpah.
Madura, akulah darahmu.