Tanpa bermaksud menjadi pembela Madura yang membabi buta, untuk tujuan di atas, mari kita tengok bagaimana sebetulnya Madura masa klasik? Budaya klasik dapat dijadikan rujukan dalam menilai kemajuan atau kemunduran suatu masyarakat. Sama halnya dengan “budaya” modern, budaya klasik juga memiliki aktor-aktor kebudayaan. Aktor-aktor tersebut berjalinkelindan dengan alam maupun masyarakat sekitar sehingga menghasilkan suatu kebudayaan.
Semua peristiwa budaya klasik Madura itu terekam jelas dalam sebuah realitas simbolik naskah-naskah lama peninggalan leluhur mereka. Salah satu koleksi naskah yang masih tersimpan rapi di museum dan dapat dijadikan bahan studi yang kaya adalah Serat Mortaseya. Hingga kini, naskah tersebut masih dikeramatkan dan menjadi “barang hidup” oleh masyarakat Madura lewat tradisi-tradisi mamacca.
Cerita dalam Serat Mortaseya ini menjadi salah satu cerita favorit yang dibacakan di setiap ada acara di masyarakat. Dikisahkan, setelah diusir Syeh Arip, suaminya, sang istri Mortaseya segera meninggalkan desa. Ia menuju ke rumah orang tuanya. Mortaseya tidak diterima orang tuanya lantaran orangtuanya takut terkena Azab dari Allah. Lantas Mortaseya memutuskan berkelana ke hutan.
Dalam kesendiriannya tak lupa ia menjalankan ibadah. Karena waktu itu pakaiannya terkena air kencing anaknya, sementara di hutan tiada air untuk mensucikannya, maka Allah memerintahkan Jibril untuk mengganti pakaian dan menyiapkan air untuk mandi Mortaseya. Setelah mandi ia berubah lebih cantik dari sebelumnya. Kemudian Jibril memerintahkan Mortaseya kembali ke suaminya untuk memperbaiki rumah tangganya.