Menjaga Keteraturan
Membaca sepintas saja Serat Mortaseya terkesan betapa sangat kaya pelajaran-pelajaran yang bersifat relegius dalam membina rumah tangga. Diharapkan dengan membaca cerita ini masyarakat akan menghambil hikmahnya. Utamanya perihal keluarga. Barangkali keluarga pun bisa dimaknai lebih luas, tidak berhenti pada sebuah keluarga dalam rumah tangga. Bukankah negara juga sebuah keluarga bangsa?
Semua alur dan peristiwa yang terjadi di atas merupakan alur yang dipoles dengan unsur-unsur agama. Sehebat-hebat perempuan di dalam keluarga, suamilah yang menjadi nahkoda. Walaupun hanya menjadi orang kedua dalam struktur keluarga, wanita Madura memiliki nilai tawar yang tinggi dalam menetapkan keputusan-keputusan yang diambil oleh suami. Kiranya ini adalah pesan yang terdapat di dalam Serat Mortaseya yang masih menjadi tradisi pembacaan di Madura.
Sepanjang sejarah manusia keteraturan masyarakat diciptakan dengan berbagai cara. Baik yang berhubungan dengan sesama manusia dalam konteks kemasyarakatan maupun dengan alam yang menjadi tempat hidupnya. Maka tidak heran jika umumnya masyarakat Jawa menempatkan dirinya jadi satu dengan alam.
Salah satu cara untuk menciptakan keteraturan adalah dengan keteraturan ilahi. Mengutip Peter L Berger bahwa keteraturan ilahi yang tecermin dalam agama-agama menjadi pendukung dan pembenar manusia dalam mewujudkan keteraturan manusia. Maka dari itu salah satu untuk mendukung keteraturan masyarakat adalah dengan memasukkan unsur agama dalam keseharian masyarakat baik itu seni, sosial, maupun budaya. Dengan ini segala tindakan akan mendapatkan legitimasi dari agama.
Kejadian yang masih segar dalam ingatan kita adalah adanya kasus yang ditenggarai dengan istilah “penodaan” agama. Dengan menggunakan vonis “sesat” yang sesat dalam artian konteks keagamaan dengan legitimasi majelis ulama tanpa digerakkan pun mereka akan akan bereaksi dengan sendirinya. Di sinilah letak keunggulan agama dalam mengatur masyarakat.